Dukung Aturan Pajak Minimum Global, Apakah Masih Ada Insentif Pajak di Indonesia?

Dukung Aturan Pajak Minimum Global, Apakah Masih Ada Insentif Pajak di Indonesia
Image Source by koinworks.com

Dukung Aturan Pajak Minimum Global, Apakah Masih Ada Insentif Pajak di Indonesia?

Pemerintah sedang mempersiapkan aturan lebih rinci terkait pajak perusahaan minimum global sebesar 15%. Aturan tersebut akan berpengaruh pada nilai insentif yang diberikan kepada pelaku usaha. Aturan itu sendiri berlaku mulai 2023.

Forum G20 telah sepakat memberikan dukungan penuh pada Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) terkait dengan pajak perusahaan minimum global sebesar 15%. Hal ini didasarkan pada konsensus global mengenai Pilar Ke-2 dari OECD yang dikenal sebagai The Global Anti-Base Erosion (GloBE).  Direktur OECD Centre for Tax Policy and Administration, Pascal Saint-Amans, menjelaskan bahwa organisasinya telah menerbitkan model dan petunjuk pelaksanaan dari Pilar Ke-2 agar dapat direspon oleh seluruh negara anggota.

 “Ini akan membantu negara-negara membawa aturan Global Anti Base Erosion ke dalam undang-undang domestik pada 2022,” kata Pascal, Minggu (6/2).

Indonesia sendiri mengikuti konsensus pengenaan pajak minimum global yang diserukan oleh OECD. Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan, Yon Arsal mengatakan kesepakatan global terkait dengan pajak minimum yang dikenakan kepada perusahaan multinasional dapat mempengaruhi nilai insentif yang diberikan kepada pelaku usaha, seperti tax allowance atau tax holiday.

“Tidak hanya Indonesia tapi semua negara. Selain itu kita juga sedang menindaklanjuti dan masih memiliki waktu untuk pembahasan yang lebih detil karena kesepakatan ini baru berlaku mulai 2023,” kata Yon dalam Media Gathering Direktorat Jenderal Pajak di Bali.

Menurutnya, Kementerian Keuangan, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dan juga Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian akan melakukan kajian bersama mengenai dampak kesepakatan global tersebut. Indonesia sendiri memanfaatkan insentif pajak kepada perusahaan-perusahaan multinasional untuk menjadikan Indonesia sebagai destinasi investasi yang menarik bagi para pelaku usaha.

“Ini tidak cuma tax holiday dan allowance tapi juga insentif lain akan terpengaruh konsensus pajak global. Tentunya kita berdiskusi dengan harapan walau nanti akan ada perubahan kebijakan tapi tujuan kita untuk meningkatkan investasi tentu tidak boleh dikorbankan,” ucapnya.

Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak (DJP) Mekar Satria Utama menyampaikan bahwa peraturan pemerintah akan disiapkan sebagai aturan umum. Sementara untuk pengaturan lebih rinci akan dilakukan melalui peraturan menteri keuangan.

“Pengaturan Pilar 2 sesuai model rules yang lebih terperinci akan diatur dalam PMK,” ucap Mekar, Selasa (11/1).

Terlepas dari upaya pemerintah dalam melakukan diskusi, implementasi dari pajak minimum perusahaan global akan memberikan dampak yang signifikan terhadap potensi penerimaan pajak negara. Dengan adanya pelaksanaan ini, maka skema penghindaran pajak dapat diminimalisasi karena telah diberlakukannya tarif minimum dan menyeluruh. 

Negara-negara suaka pajak yang selama ini menjadi tempat “pelarian” perusahaan multinasional memang masih dapat menetapkan tarif pajak yang rendah, tetapi setelah skema ini diimplementasikan maka tarif yang wajib dibayar oleh perusahaan multinasional tersebut adalah sebesar 15% dan mengatasi aggressive tax planning yang kerap digunakan oleh perusahaan multinasional.

Untuk diketahui, Pilar Ke-2 OECD menegaskan bahwa negara anggota telah sepakat adanya pengenaan pajak minimum global sebesar 15% dari penghasilan yang didapatkan oleh perusahaan multinasional. Dalam hal perusahaan menghasilkan lebih dari 10% keuntungan pada penjualan produk atau layanan di negara lain, maka perusahaan harus membayarkan pajak kepada negara tempat perusahaan beroperasi dan juga negara asal. Ketentuan ini berlaku pada perusahaan dengan pendapatan di atas 750 juta Euro/tahun dan akan berlaku efektif pada 2023.

Dipromosikan