Gempa Turki Hambat Bisnis, Force Majeure atau Hardship?

Gempa Turki Hambat Bisnis, Force Majeure atau Hardship?
Image source: viva.co.id

Gempa Turki Hambat Bisnis, Force Majeure atau Hardship?

“Hubungan hukum yang terjadi antara subjek hukum, sering kali mengalami suatu kendala di luar kendali manusia. Kendala tersebut khususnya terjadi karena faktor alam yang tak dapat dikendalikan oleh hukum.”

Baru baru ini dunia digemparkan oleh peristiwa gempa bumi yang melanda Turki. Dilansir dari liputan6.com (06/02/2023), Gempa bumi berkekuatan 7,8 magnitudo yang mengguncang Turki tersebut sukses memorak-porandakan bangunan kota, khususnya pada kota di Selatan Turki, Turki tengah, dan Suriah barat laut. Selain memorak-porandakan bangunan kota, gempa bumi tersebut nyatanya juga membuat perekonomian Turki ikut porak-poranda.

Porak-porandanya perekonomian Turki diindikasikan oleh melemahnya kurs mata uang Turki, yakni Lira ke posisi terendah. Lira anjlok menjadi 18,85 terhadap dolar Amerika Serikat. 

Benchmark ekuitas utama Turki tercatat turun sebesar 4,6 persen dengan bank jatuh lebih dari lima persen sebelum memangkas beberapa kerugian dengan indeks utama turun sampai dengan 2,5 persen. Demikian dikutip dari republika.co.id (07/02/2023).

Melemahnya perekonomian Turki akibat bencana gempa bumi mengindikasikan adanya anomali pada aktivitas bisnis dan industri di negara tersebut. Hal demikian dikatakan karena menurut ketua umum Kadin Arsjad Rasjid, dalam menjalankan suatu aktivitas bisnis, risiko bencana menjadi salah satu momok terbesar pebisnis dan pelaku industri karena dapat membuat sistem sosial ekonomi menjadi tidak karuan. Dikutip dari liputan6.com (25/10/2021).

Bisnis Terhambat karena Force Majeure

Terhambatnya aktivitas bisnis karena bencana alam, apabila ditinjau dari perspektif hukum menimbulkan pandangan bahwa terdapat banyaknya kewajiban-kewajiban dalam suatu hubungan hukum (khususnya hubungan kontraktual) yang mendadak tidak terpenuhi. Situasi demikian, sering dikenal sebagai force majeure atau keadaan memaksa.

Force majeure pada hukum Indonesia diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Lebih khusus, Prof. Subekti mengartikan isi Pasal tersebut yang berbunyi sebagai berikut:

Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemua itu pun jika iktikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.”

Dilansir business-law.binus.ac.id (24/04/2023), suatu kondisi force majeure mengindikasikan adanya suatu kendala fisik berupa bencana alam yang dapat menghambat suatu prestasi/kewajiban tidak dapat terpenuhi.

Hardship sebagai Penghambat Bisnis

Namun, dalam perkembangannya klausul ‘bencana alam’ sebagai penyebab tidak terpenuhinya suatu prestasi/kewajiban seringkali dikorelasikan dengan suatu kondisi yang disebut sebagai hardship atau keadaan sulit.

Lantas, berdasarkan peristiwa bencana alam berupa gempa bumi yang melanda negara Turki baru-baru ini, apakah terdapat perbedaan antara kondisi force majeure dengan kondisi hardship?

Perbedaan Force Majeure dan Hardship

Force majeure secara Bahasa dapat diartikan sebagai keadaan memaksa, sedangkan hardship dapat diartikan sebagai suatu keadaan sulit. Pada dasarnya, baik force majeure maupun hardship memiliki persamaan, yakni adanya suatu peristiwa yang menghalangi pelaksanaan prestasi/kewajiban yang hendak dipenuhi oleh subjek hukum, serta peristiwa tersebut tidak dapat diduga dan peristiwa tersebut tidak disebabkan oleh kesalahan subjek hukum.

Akan tetapi, terdapat perbedaan kontras antara force majeure dan hardship. Dilansir dari ap-lawsolution.com (06/2020), dalam situasi force majeure terjadi suatu kondisi sebagai berikut:

  1. Suatu kewajiban/kontrak akan dianggap berakhir. Karena berdasarkan Pasal 1381 KUHPer, suatu kontrak akan berakhir karena adanya suatu kondisi force majeure (kecuali terjadinya suatu force majeure sebagian, maka subjek hukum wajib memenuhi sisa kewajiban/kontrak yang masih bisa dilakukan); dan
  2. Subjek Hukum (Debitor) tidak bertanggung jawab atas terjadinya risiko.

Pada situasi hardship, peristiwa yang menghalangi kewajiban/prestasi diutamakan pada peristiwa yang mengubah keseimbangan kontrak secara fundamental, baik karena meningkatnya biaya pelaksanaan ataupun karena adanya perubahan nilai pelaksanaan yang diterima. Untuk itu, dalam hardship terjadi suatu kondisi sebagai berikut:

  1. Mengakibatkan adanya perubahan yang berarti, sehingga dapat mengakibatkan kerugian secara tidak wajar pada pihak lain;
  2. Apabila terbukti maka kontrak tidak berakhir, namun dapat dinegosiasi ulang oleh subjek hukum yang berkepentingan;
  3. Apabila renegosiasi gagal, maka sengketa dapat diajukan ke pengadilan untuk dapat diselesaikan; dan
  4. Apabila sampai di pengadilan, nantinya hakim dapat memutuskan kontrak atau merevisi kontrak guna mengembalikan proporsionalitas suatu perjanjian.

MIW

Dipromosikan