Guspenmigas: Perlu Ada Harmonisasi Peraturan Pengadaan Barang dan Jasa di Industri Migas

Selain itu, ada usulan untuk membentuk Komite Penyelesaian Sengketa Pengadaan.

Direktur Eksekutif Guspenmigas Kamaluddin Hasyim (Tengah, Jas Hitam). Sumber Foto: www.guspenmigas.org

Direktur Eksekutif Gabungan Usaha Penunjang Energi Migas (Guspenmigas) Kamaluddin Hasyim mengatakan perlu ada sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan sehingga bisa berimplikasi kepada kemajuan industri penunjang migas di Indonesia.

Salah satu yang perlu disinkronisasi dan diharmonisasi, menurut Kamaluddin, adalah aturan yang berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa. “Peraturan dan Ketentuan tentang Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) dalam Pengadaan Barang dan Jasa di lingkungan Kementerian ESDM (Pertamina, KKKS, Panas Bumi, Energi dan Pertambangan), wajib disesuaikan dan disinkronkan dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 2 dan 3 Tahun 2014 meliputi Barang Larangan Impor dan Kategori Barang dan Jasa serta Tata-Cara Pengadaan,” ujarnya di Jakarta, Rabu (26/4).

Dalam diskusi yang diselenggarakan Mahapada Law Office itu, Kamaluddin memaparkan peran penting Kementerian Perindustrian dalam memajukan industri penjunjang migas. “Kementerian Perindustrian merupakan lembaga teknis pengembangan industri dalam negeri, yang: mempunyai peranan dan nilai tambah (multiplier effects) sangat besar kepada negara dan masyarakat Indonesia; berinvestasi di tahan air dan pembayar pajak kepada negara; sebagai potensi nasional penggerak roda perekonomian; serta penerapan teknologi maju dan pembentukan SDM berkualitas,” jelasnya.

Selain itu, Kamaludin memaparkan langkah harominisasi dan sinkronasi yang lain adalah dengan merevisi sejumlah aturan dan pedoman yang berkaitan dengan industri penunjang migas. Beberapa aturan yang perlu direvisi adalah (1) Peraturan Menteri ESDM No. 15 Tahun 2013 tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi; (2) Surat Keputusan Dirjen Migas No. 179 Tahun 2014 serta Buku Apresiasi Produk Dalam Negeri; (3) Pedoma Tata Kerja 007 Revisi ke-3 yang saat ini sedang dalam proses revisi ke-4.

Usulan sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan ini merupaka masukan pertama dari total sembilan masukan Guspenmigas kepada pemerintah agar bisa memajukan industri penunjang Migas. Masukan-masukan lainnya adalah, kedua, membentuk Badan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN). Kamaluddin menjelaskan badan tersebut dibentuk untuk tujuan meningkatkan penggunaan produk dalam negeri.

Kamaluddin menilai model yang bisa dicontoh  adalah UP3DN pada era 1980 di bawah Menteri Mudah P3DN. Ia juga menilai sata ini terjadi kecenderungan bahwa kita lebih berpihak kepada barang impor yang tidak mempunyai nilai tambah kepada bangsa dan negara. “Alhamdulilah draft ini sudah ada,” ungkapnya.

Ketiga, membentuk Komite Penyelesaian Sengketa Pengadaan. “Ini yang belum, kalau kita ada sengketa, yang menyelesaikan itu nggak ada,” ujar Kamaluddin.

Ia menilai selama ini keputusan terhadap masalah sanggahan dan sengketa pengadaan dinilai tidak adil dan selalu berpihak kepada pemberi kerja, akibatnya sangat merugikan produsen dalam negeri. Oleh karena itu, Guspenmigas mengusulkan agar dibentuk Komite Penyelesaian Sengketa Pengadaan Barang dan Jasa di lingkungan ESDM yang merupakan pengambil keputusan yang bersifat final dan mengikat. Komite tersebut terdiri dari regulator, industri terkait dan Guspenmigas.

Keempat, mengubah sistem dan formula Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Kamaluddin menilai bahwa Formula TKDN saat ini yang berbasis Cost to Make sangat sulit dalam perhitungan, verifikasi, penerapan dan pengawasan. “Diusulkan membuat sistem dan formula TKDN baru yang lebih sederhana dan berbasis kedalaman Industri Sektor Hulu,” ujarnya.

Kelima, penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS), wajib mengacu pada kewajaran harga produk (barang dan jasa) dalam negeri. Keenam, Front End Engineering Development (FEED) dilakukan di dalam negeri. Ia menuturkan selama ini FEED dilakukan di luar negeri, sehingga kualifikasi dan spesifikasi teknis pekerjaan tidak sesuai dengan potensi nasional. Implikasinya persyaratan SDM harus memenuhi kualifikasi tertentu yang diarahkan kepada kepentingan asing.

“Indonesia mempunyai personil yang mampu dan berkualitas serta memenuho persyaratan terkait,” tegasnya.

Ketujuh, Sub Kontraktor dan Pelaksana Kontrak wajib menggunakan produk dalam negeri sesuai Peraturan dan Ketentuan yang berlaku. Kedelapan, Sertifikat Pabrik (Mill Certificate) barang jadi yang diproduksi di dalam negeri, diterbitkan oleh produsen dalam negeri yang mempunyai produksi barang dimaksud, bukan oleh pabrik negara asal yang membuat bahan baku.

“Sudah, harga produk dalam negeri lebih murah daripada produk impor. Iya, haru sepakat itu. Kalau nggak sepakat, kita repot-repot,” tuturnya.

Kesembilan, harga produk dalam negeri lebih murah dibandingkan produk impor. “Apabila dibandingkan apple to apple, produk dalam negeri mempunyai peran, nilai tambah serta kewajiban kepada bangsa, negara dan masyarakat Indonesia mencapat sekitar bobot 43 persen, sedangkan produk impor 0 persen (zero),” pungkas Kamaluddin.

(PHB/ASH)

Dipromosikan