IAI Mendukung Apoteker Diwajibkan Memberi Pilihan Obat Kepada Pasien

Peraturan yang ada dinilai sudah efektif mencegah persaingan usaha tidak sehat di industri farmasi.

Ilustrasi. Sumber Foto: http://www.hipwee.com/

Ketua Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Nurul Falah Eddy Pariang mendukung apoteker diwajibkan memberi pilihan obat kepada pasien agar tercipta persaingan usaha yang sehat di kalangan industri farmasi.

Nurul Falah mengatakan persaingan usaha tidak sehat dalam industri farmasi cukup banyak terjadi sebelumnya adanya formularium nasional melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). “Sebelum jaman JKN memang agak terlihat persaingan obat-obatan,” ujarnya kepada KlikLegal melalui sambungan telepon, Senin (2/10). (Baca Juga: Ikatan Apoteker Masih Terus Mengkaji RUU Kefarmasian).

Kondisi tersebut, lanjut Nurul Falah, sempat menjadi perhatian Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang kemudian mengusulkan Kementerian Kesehatan untuk membuat peraturan mengenai kewajiban memberikan informasi obat kepada pasien. Hal tersebut dilakukan agar obat-obatan tidak dimonopoli oleh salah satu tenaga kesehatan atau pelaku industri. “Tetapi diserahkan kepada pasien,” ujarnya.

Nurul Falah memberikan contoh apabila ada seorang pasien membawa resep dokter dengan nama paten tertentu misalnya amoxicillin, maka pasien tersebut boleh menentukan sendiri obat yang hendak ia tebus, selama isi dan kandungan zat yang dimiliki sama dengan apa yang tertulis dalam resep dokter. “Pasien boleh bertanya kepada apoteker yang ada di apotek ‘Apakah ada obat yang sama padanannya dengan obat ini?’ Biasanya obat generik,” ujarnya.

Seorang pasien boleh membeli obat yang lebih murah serta lebih terjangkau dari obat yang tertera di resep dokter. Hal tersebut dapat dilakukan dengan catatan bahwa isi zat berkhasiat serta kandungan dalam obat tersebut adalah sama. “Sehingga mengurangi persaingan usaha karena penulisan resep dari dokter, tetapi pasien tetap diberikan hak untuk mendapatkan pilihan sesuai dengan kemampuannya,” jelasnya.

Berkaitan dengan hal ini, Nurul mengatakan bahwa menjadi tugas dari seorang apoteker untuk menunjukkan obat lainnya yang memiliki zat berkhasiat, isi dan senyawa aktif yang sama sehingga pasien tersebut diberikan pilihan dan berhak untuk menentukan. (Baca Juga: Ini Tujuh Alasan Penyusunan RUU Praktik Kefarmasian Versi DPR).

Di sisi lain, Nurul mengatakan bahwa setelah adanya JKN, persaingan usaha dalam industri farmasi sudah tidak begitu terlihat seperti sebelumnya. Hal tersebut menurutnya dikarenakan obat-obatan yang telah ditender melalui Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah (LKPP) sehingga persaingannya sudah tidak terlalu sekeras seperti sebelumnya. Selain itu, Nurul menambahkan bahwa persaingan yang tidak sehat dalam industri farmasi dapat diminimalisir karena sudah adanya peraturan yang mengatur mengenai hal tersebut. “Sehingga sudah cukup menangkal kalau terjadi persaingan usaha (tidak sehat,-red),” ujarnya.

Nurul menilai aturan mengenai kewajiban bagi seorang apoteker untuk memberikan pilihan kepada pasien tersebut cukup efektif. Ini dapat dilihat dari adanya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 98 Tahun 2015 tentang Pemberian Informasi Harga Eceran Tertinggi Obat.  “Ketika itu KPPU menyarankan kepada Kementerian Kesehatan, kemudian oleh Kementerian Kesehatan sudah diakomodir dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 98 Tahun 2015 tentang Pemberian Informasi Harga Eceran Tertinggi Obat,” jelasnya.

Oleh karenanya, menurutnya, sudah menjadi kewajiban para Apoteker untuk menawarkan obat-obat yang memiliki kandungan zat yang sama berdasarkan yang ada dalam apotek tersebut. Ia memberi contoh apabila ada seorang yang hendak membeli amoxicillin, maka yang ditawarkan oleh apoteker tersebut adalah amoxicillin dari beberapa produk berbeda dengan kandungan zat yang sama. Seorang apoteker tidak boleh mengganti obat yang dicari pasien dengan senyawa aktif yang berbeda. “Seperti misalnya amoxicillin 500 mg, maka itu yang tadinya dari branded, diganti menjadi generik atas persetujuan pasien atau atas persetujuan dokternya,” ujarnya.

Sebagai informasi, pada Februari lalu, Kementerian Kesehatan menggandeng KPPU dengan membuat nota kesepahaman mengenai pencegahan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di bidang farmasi. “Kita mendorong supaya industri obat ini kompetitif, tapi terhindar dari praktik persaingan tidak sehat,” kata Ketua KPPU Syarkawi Rauf di Kantor Kemenkes ketika itu.

Dikutip dari situs KPPU, Syarkawi mengapresiasi Permenkes No.98 Tahun 2015 yang dinilai telah berhasil mencegah praktik kartel obat. “Jadi pasien berhak mendapatkan pilihan dan informasi mengenai harga saat hendak menebus obat yang diresepkan oleh dokter. Itu suatu kemajuan luar biasa karena biasanya yang referensi kan dokternya,” pungkas Syarkawi.

(PHB/ASH)

Dipromosikan