ICLA Kritik Putusan MK Bisa Ciptakan Ketidakpastian Hukum yang Baru

MK justru dinilai memperluas makna pihak lain dalam persekongkolan.

Ketua Umum ICLA Asep Ridwan (Berdiri Kedua dari Kiri). Sumber Foto: Fan Page Facebook ICLA.

Ketua Umum Asosiasi Advokat Persaingan Usaha Indonesia (Indonesia Competition Lawyers Association atau ICLA) Asep Ridwan mengkritik putusan Mahkamah Konstitusi yang menafsirkan makna “pihak lain” dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidah Sehat (UU Persaingan Usaha) dapat menciptakan ketidakpastian hukum yang baru.

Sebagai informasi, MK memang baru saja mengabulkan sebagian permohonan judicial review UU Persaingan Usaha. Salah satu poin dari putusan tersebut adalah MK menyatakan bahwa makna “pihak lain” dalam Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 24 yang mengatur persekongkolan harus ditafsirkan sebagai “pihak yang terkait dengan pelaku usaha lain.” (Baca Juga: MK Perjelas Makna “Pihak Lain” dan “Penyelidikan” dalam UU Persaingan Usaha).

Asep mengatakan alih-alih mempersempit makna pihak lain menjadi pelaku usaha lain, MK justru telah memperluas makna “pihak lain” dengan putusannya itu. Asep menuturkan sebenarnya jika mengacu pada pasal 1 angka 8 mengenai definisi persekongkolan sudah jelas bahwa konteks ‘pihak lain’ tersebut adalah antara pelaku usaha dengan pelaku usaha yang lain.

Ketentuan itu menyebutkan persekongkolan adalah bentuk kerja sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.

“Jadi seharusnya kalau kita mengacu kepada pasal definisi, pihak lain itu didefinisikan sebagai pelaku usaha lain. Tetapi akibat dari rumusan pasal 22, 23, 24 ini pihak lain, akibatnya KPPU tidak hanya menerapkan terhadap pelaku usaha lain, tetapi terhadap siapa pun itu sepanjang pihak lain. Makanya bisa saja panitia tender, bisa saja pemerintah, bisa saja direktur, bisa siapa saja,” kata Asep kepada Klik Legal melalui sambungan telepon, Jumat (22/9) di Jakarta.

“Justru melalui putusan itu malah menjadi diperluas, menimbulkan ketidakpastian hukum yang baru. Karena arti pihak lain bisa tidak terbatasi siapa saja sepanjang temuan KPPU, yang itu bukan berarti tidak bisa dipermasalahkan, tetapi itu bisa saja menjadi ranah hukum lain, yang bukan (kewenangan,-red) KPPU,” ujarnya.

Lebih lanjut, Asep menjelaskan apabila pihak lain, seperti pemerintah dan sebagainya, terlibat persekongkolan maka penegakan hukum bagi pihak tersebut tidak masuk dalam ranah KPPU. Karena, lanjut Asep, yang menjadi kewenangan KPPU adalah memberikan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha sebagaimana yang dinyatakan tegas dalam pasal 47 UU tersebut.

“Kalaupun ada pihak lain contohnya pemerintah, panitia tender, panitia pengadaan, dan semacamnya ada main-main juga itu bukan berarti tidak bisa disetuh, bisa tapi itu dengan ranah hukum yang lain. Artinya silakan KPPU itu sampaikan dan laporkan itu kepolisian kepada KPK atau Kejaksaan bahwa ini ada kongkalingkong dalam suatu tender, tapi bukan ranah KPPU,” tambahnya.

Ia menyarankan kepada KPPU untuk membuat koordinasi bersama dengan penegak hukum lain. Hal ini diperlukan apabila ditemukan ada persekongkolan dengan pihak lain seperti pemerintah yang ranah hukumnya tidak bisa dimasuki oleh KPPU. Maka dalam hal ini, KPPU dapat melakukannya dengan melaporkan ataupun menginformasikan adanya pelanggaran lain diluar UU tersebut.

“KPPU bisa saja merekomendasikan hal ini kepada KPK. Misalnya nih KPK, ada kongkalingkong. Karena pasti kalau ada sesuatu tender yang fair pasti ada sesuatu, yang sesuatu itu bisa saja ada kick back-nya, entah apanya dan semacamnya. Bahkan itu tindakan hukum itu bisa lebih efektif bila di KPK atau kejaksaan atau penegak hukum yang lain, dibanding KPPU,” pungkasnya.

(PHB)

Dipromosikan