Isu Petinggi ACT Dapat Gaji, Bagaimana Peraturan Hukumnya?

Isu Petinggi ACT Dapat Gaji, Bagaimana Peraturan Hukumnya
Image Source by tribunnews.com

Isu Petinggi ACT Dapat Gaji, Bagaimana Peraturan Hukumnya?

“Praktisi Hukum: Dalam UU Yayasan, kekayaan yayasan dilarang dialihkan dalam bentuk gaji atau upah kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas Yayasan.”

Akhir-akhir ini isu terkait dengan Lembaga Aksi Cepat Tanggap (ACT) ramai dibicarakan oleh masyarakat. ACT menjadi perbincangan lantaran liputan khusus yang dilakukan oleh Majalah Tempo salah satunya terkait dengan pemberian gaji dan fasilitas untuk petinggi dengan nilai yang fantastis.

Presiden ACT Ibnu Khajar (Periode Januari 2022 hingga saat ini) membenarkan bahwa gaji untuk presiden ACT untuk periode sebelumnya yang juga merupakan Pendiri ACT sebesar Rp250 juta perbulan. Ia menambahkan bahwa uang tersebut diambil dari 13,7 persen dari donasi yang terkumpul untuk operasional gaji pegawai. Pemotongan dana untuk gaji dari donasi itu dilakukan sejak tahun 2017 hingga 2021. Sebagaimana diketahui, ACT merupakan badan hukum yayasan yang sejatinya harus tunduk pada UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

Mengenai hal tersebut, Lita Siregar, Managing Partner dari BP Lawyers memberikan pandangannya terkait dengan pemberian gaji bagi pendiri yayasan. Menurut Lita melalui unggahan pada Linkedin-nya, merujuk pada Pasal 5 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2004, kekayaan yayasan dalam bentuk apapun dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, honorarium, atau bentuk lainnya yang dapat dinilai dengan uang kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas Yayasan. Kekayaan yayasan yang dimaksud tersebut dapat diperoleh dari sumbangan, perolehan lain yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar (AD) Yayasan, hingga hasil kegiatan usaha yayasan.

Lebih lanjut, Lita menjelaskan bahwa pada dasarnya Pengurus Yayasan dapat diberikan gaji atau upah mengacu pada Pasal 5 ayat (2) huruf a dan b serta Pasal 5 ayat (3).

“Kalau melihat pasal tersebut, terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi agar Pengurus Yayasan dapat diberi gaji, yaitu Pengurus bukan Pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan Pendiri, Pembina, dan Pengawas, melaksanakan kepengurusan Yayasan secara langsung dan penuh, serta besaran gaji ditetapkan oleh Pembina sesuai kemampuan kekayaan Yayasan,” ungkapnya.

Ia mengatakan bahwa norma dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a dan b tersebut secara tidak langsung melarang Pendiri dan Pengawas Yayasan untuk menerima gaji. Ketentuan tersebut diperkuat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.5/PUU-XIII/2015 tanggal 26 Agustus 2015. Pada intinya, putusan tersebut menolak dengan suara bulat permohonan dari para pendiri Yayasan Toyib Salmah Habibie yang memohon kepada MK untuk menghapus Pasal 5 ayat (2) karena dianggap diskriminatif terhadap Pendiri dan Pengawas yang dilarang menerima gaji, sedangkan Pengurus diperbolehkan.

“Dalam putusan tersebut, MK berpendapat bahwa sejatinya tujuan pendirian yayasan adalah untuk tujuan sosial, bukan untuk mencari keuntungan. Oleh karena itu, Pendiri memiliki tugas untuk menjaga tujuan tersebut, sehingga tidak elok apabila Pendiri mengharapkan imbalan dari yayasan yang didirikannya sendiri,” jelasnya.

“Ketentuan ini berbeda bagi Pengurus yang diharapkan mampu menjalankan yayasan secara efektif dan profesional sehingga diperbolehkan menerima gaji/honor sesuai kemampuan yayasan,” tambahnya.

Lebih lanjut, Lita mengatakan bahwa dalam hal Pendiri Yayasan menerima gaji, honor, atau kekayaan dalam bentuk apapun yang berasal dari kekayaan yayasan, maka berlaku sanksi pidana sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 70 UU Yayasan, yaitu berupa pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun serta dapat juga dimintakan pidana tambahan berupa kewajiban pengembalian uang, barang, atau kekayaan yayasan yang dialihkan atau dibagikan.

Dengan demikian, apabila benar Pendiri Yayasan ACT memperoleh gaji yang berasal dari kekayaan yayasan, maka dapat dikenakan sanksi pidana atas perbuatan pihak yang menerima pembagian atau peralihan dari kekayaan yayasan sebagaimana diatur dalam Pasal 70 UU Yayasan.

“Semoga ketentuan Pasal 5 UU Yayasan dan Putusan MK No.5/PUU-XII/2015 ini dapat dijalankan oleh seluruh Pendiri, yayasan di Indonesia, sehingga yayasan dapat mencapai tujuan sosialnya dengan paripurna,” tutupnya. 

 

MH

Dipromosikan