Jaga Stabilitas Perekonomian Nasional, Bank Indonesia Keluarkan 5 Kebijakan Fiskal

Jaga Stabilitas Perekonomian Nasional, Bank Indonesia Keluarkan 5 Kebijakan Fiskal

Jaga Stabilitas Perekonomian Nasional, Bank Indonesia Keluarkan 5 Kebijakan Fiskal

“Untuk dua bulan ini (Februari dan Maret) sepertinya akan menjadi titik terendah dalam krisis virus corona tersebut. Namun dalam enam bulan selanjutnya diharapkan akan menjadi masa recovery bagi ekonomi Indonesia,”

Sejak wabah virus corona (Covid-19) merambah dan berdampak pada WNI Indonesia, Bank Indonesia meyakini adanya rebound (titik balik) ekonomi pada kuartal II/2020, setelah pertumbuhan kuartal pertama diperkirakan melemah di bawah 5 persen akibat wabah Virus Corona ini. 

Terkait hal ini Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memperkirakan kuartal pertama pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada di kisaran 4,9%. Kemudian, pertumbuhannya akan mendekati 5 persen pada kuartal kedua.

“Untuk dua bulan ini (Februari dan Maret) sepertinya akan menjadi titik terendah dalam krisis virus corona tersebut. Namun dalam enam bulan selanjutnya diharapkan akan menjadi masa recovery bagi ekonomi Indonesia,” jelasnya

Dari penilaian ini, BI memutuskan untuk memangkas perkiraan ekonomi pada tahun ini menjadi 5% – 5,4% dari sebelumnya 5,1% – 5,5%. Namun, Perry meyakini bahwa perekonomian akan terus meningkat pada tahun 2021 menjadi 5,2% hingga 5,6%.

“Jadi angka-angka di atas bukan tanpa policy, itu sudah sesuai dengan policy,” tutur Perry. 

Untuk menjaga kestabilan perekonomian nasional, dalam hal ini Bank Indonesia (BI) mengumumkan lima kebijakan untuk melawan dampak virus corona, setelah pemerintah mengkonfirmasi dua pasien pertama di Indonesia,yaitu:

Pertama, BI akan meningkatkan intensitas intervensi di pasar keuangan. 

Kedua, BI berupaya menurunkan rasio giro wajib minimum (GWM) valuta asing bank-bank umum konvensional yang sebelumnya 8 persen dari DPK sekarang 4 persen dari DPK. 

Ketiga, saat ini BI berusaha akan menurunkan GWM rupiah sebesar 50 bps yang ditujukan kepada perbankan yang melakukan kegiatan ekspor dan impor yang tentu saja dalam pelaksanaan berkoordinasi dengan pemerintah.

Keempat, dalam hal ini BI juga memperluas jenis dan cakupan underlying transaksi bagi investor asing di dalam melakukan lindung nilai, termasuk domestic non-delivery forward (DNDF).

Kelima, BI akan mempertegas investor global agar dapat menggunakan bank kustodian, baik investor global maupun domestik, dalam melakukan investasi di Indonesia. Ke depan, BI akan terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah, OJK, LPS dan otoritas lainnya untuk menjaga fundamental ekonomi Indonesia.

Kebijakan Giro Wajib Minimum (GWM) Dipangkas

Dari lima kebijakan yang dikeluarkan oleh BI, dua di antara yaitu memangkas rasio GWM valuta asing atau valas bank konvensional umum dari semula 8 persen terhadap Dana Pihak Ketiga (DPK) menjadi 4 persen. Lalu, GWM rupiah juga dipangkas sebesar 50 basis poin untuk kegiatan ekspor impor.

Terkait pemangkasan rasio GWM ini, sejumlah pengusaha menyambut baik kebijakan ini demi meredam dampak virus corona (Covid-19). Namun persoalannya, para pengusaha mempertanyakan dampak kebijakan ini terhadap penurunan suku bunga kredit perbankan.

Sebagaimana dikutip dari Tempo pada Kamis (5/3), menurut Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno, Penurunan GW ini memang memberikan kelonggaran likuiditas di lembaga perbankan. Artinya jika likuiditas meningkat, maka bank akan memiliki lebih banyak uang untuk disalurkan kepada pengusaha yang akan berekspansi atau melakukan investasi baru.

“Namun untuk sekarang ini bukanlah waktu yang tepat bagi pebisnis untuk melakukan ekspansi,” ujarnya.

GWM sendiri adalah dana wajib yang harus disediakan perbankan dalam bentuk saldo rekening giro dan ditempatkan di BI. Dengan adanya pemangkasan ini, BI memperkirakan nilai likuiditas valas di perbankan naik sebesar US$ 3,2 miliar. Sehingga, dunia perbankan memiliki ruang yang lebih besar untuk menyalurkan kredit demi memacu kegiatan ekonomi di tengah penyebaran virus corona.

Sejumlah ekonom pun sepakat menilai bahwa pemangkasan rasio GWM ini tidak serta merta akan membuat suku bunga kredit perbankan turun. Menurut seorang ekonom dari The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abdul Manap Pulungan, hal ini disebabkan karena bisnis perbankan di Indonesia memiliki struktur oligopoli alias dikuasai oleh sekelompok bank besar. Akibatnya, bank-bank yang lebih kecil tidak akan mau langsung menurunkan suku bunga kredit mereka.

PNJ

Dipromosikan