JPMI Menilai Perlu Ada Subsidi Pembiayaan Sertifikat Halal Bagi UKM

Selama ini, UKM menilai pendaftaran sertifikat halal biayanya mahal.

Sumber Foto: http://www.halalcorner.id

Wakil Ketua Umum Jaringan Pengusaha Muslim Islam (JPMI) DKI Jaya, Lutfiel Hakim mengatakan bahwa perlu adanya subsidi berupa bantuan pembiayaan bagi pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) terhadap kewajiban sertifikat produk halal yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).

Lutfiel menjelaskan bahwa Industri besar bisa menanggung biaya sertifikasi halal bagi industri kecil dan menengah lewat mekanisme subsidi ini. “Nah ada satu skema yang dulu sebetulnya sempat dibicarakan oleh JPMI dan Panja UU JPH bahwa harus ada sinergi berupa subsidi terutama pengurusan pembiayaan sertifikasi halal dari perusahaan besar ke perusahaan kecil,” katanya kepada KlikLegal melalui sambugan telepon, Senin (4/7), di Jakarta.

“Kami mendorong sebetulnya UKM ini untuk pertama diberikan fasilitas kemudahan dalam sertifikat halal,” tambahnya. (Baca Juga: UKM Mulai Bertahap Menerapkan Kewajiban Sertifikat Produk Halal).

Menurut Lutfiel, adanya subsidi ini dilakukan untuk mempermudah pelaku usaha dalam menyediakan persyaratan sertifikat halal yang dibutuhkan. Karena menurutnya, selama ini banyak keberatan yang diajukan oleh UKM, diantaranya soal biaya pembuatan sertifikasi produk halal terbilang mahal.

“Tidak perlu dalam konteks kemudahan yang menurunkan standar, tidak. Tetapi harus bentuknya itu dipermudah dalam penyediaan keperluan untuk pengurusan sertifikat halal termasuk biayanya. Karena standar biaya kalau 2,5 juta itu untuk halal kalau bagi pedagang cilok berat sekali,” ujarnya.

Selain itu, Lutfiel juga menyebutkan bahwa UKM merasa keberatan sebab pelaku usaha kecil tidak bisa melakukan dokumenter untuk penelusuran terhadap kehalalan produknya. “Yang enggak siap itu industri kecil dan UKM kecil, mereka agak susah karena mereka beli itu bukan satuan. Karena halal itu kan berkaitan dengan traceability, traceability itu ketelusuran. Jadi produk yang kita makan ini harus bisa ditelusuri dari mana produknya. Dari pasar X, mereknya apa, misalnya UM Flower ini campurannya apa saja dan ini dokumenter dan UKM ini tidak bisa dokumenter. Dia ngga mungkin dokumenter Karena dia kalau beli kiloan, bahkan ada yang ons-an,” katanya.

Dalam hal ini, Lutfiel mengatakan pihaknya akan terus membantu mengadvokasikan pentingnya sertifikat halal kepada pelaku usaha, sebab pelaku usaha adalah pihak yang berkaitan langsung dengan konsumen. (Baca Juga: Terkait Sertifikasi Halal, DPR Menyiapkan Anggaran Rp350 Miliar untuk Kemenag).

“Kita fokus sebetulnya mengedukasi dan mengadvokasi bagaimana supaya ada titik temu aturan dan pelaku usaha, terutama pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah, UMKM. Kenapa usaha mikro kecil dan menengah karena pelaku usaha yang langsung berhubungan dengan konsumen, sebab kalau kita bicara industri besar mereka tidak berhubungan dengan konsumen tapi berhubungan dengan distributor dan mereka punya fasilitas untuk ke sana,” katanya.

Lutfiel Lutfiel menyarankan kepada semua konsumen khususnya muslim agar lebih selektif dan bisa menghindari produk makanan yang berasal dari negara non muslim. “Karena itu dari sudut pandang konsumen harusnya paham konsumen muslim itu, apapun produk yang datang dari mananpun terutama dari negara non muslim dan kita sudah ketahui penjualnya non muslim, jangan, hindari produknya. Beda soal misalnya dengan produsennya adalah orang Indonesia yang masyoritas muslim, walaupun ada yang beda, kemasannya juga ada yang beda. Nah, kita perlu mempertimbangan seperti itu,” pungkasnya.

 

(PHB)

Dipromosikan