Keberatan Dengan UU Halal, IPMG Lebih Memilih Advokasi Daripada Judicial Review

Pemerintah masih membahas peraturan pelaksana UU JPH.

Sumber Foto: http://assets.akurat.co/

Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Farmasi Asing di Indonesia atau International Pharmaceutical Manufacturer Group (IPMG), Parulian Simanjuntak menilai bahwa kewajiban sertifikat halal bagi seluruh produk di Indonesia yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) memberatkan industri farmasi, tetapi lembaga yang dipimpinnya tidak terpikir untuk mengajukan judicial review terhadap ketentuan itu.

Parulian mengatakan akan terus melakukan advokasi agar farmasi dikecualikan dari kewajiban itu melalui pembuatan peraturan pelaksana UU JPH yang saat ini sedang digodok oleh pemerintah. “Kami secara proaktif ikut mendatangi banyak institusi – baik pemerintah maupun non pemerintah untuk mengadvokasi agar obat-obatan, vaksin dan produk-produk lainnya untuk tidak disertifikasi, karena ini kan bisa jadi keresahan di masyarakat,” ujarnya kepada KlikLegal melalui sambungan telepon di Jakarta, Kamis (21/6).

Parulian menuturkan bahwa langkah judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) tidak perlu dilakukan karena dari unsur pemerintah sendiri ada yang memang berpendapat bahwa farmasi dikecualikan dari kewajiban itu. Unsur pemerintah yang dimaksud adalah Kementerian Kesehatan. (Baca Juga: IPMG, Industri Farmasi Masih Belum Siap Menerapkan Kewajiban Sertifikasi Halal).

“Jadi judicial review itu kan suatu perlawan terhadap suatu kebijakan pemerintah. Sedangkan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan juga menginginkan agar tidak disertifikasi itu obat-obatan, vaksin dan sebagainya. Jadi dari segi itu belum dirasakan perlu untuk ‘melawan’ pemerintah yang juga tidak menginginkan (farmasi,-red) untuk disertifikasi,” jelasnya.

Lebih lanjut, Parulian menilai bahwa kewajiban sertifikasi itu memang sulit untuk diterapkan untuk industri farmasi.  Ia mengatakan bahwa di negara-negara lain, termasuk di Timur Tengah, obat-obatan atau farmasi termasuk yang dikecualikan dari kewajiban sertifikasi halal. “Obat-obat pun di negara middle east atau Timur Tengah itu pun juga tidak diharuskan untuk disertifikasi dan kaum ulama disana mengatakan bahwa obat-obatan jangan dibawa ke ranah agama,” katanya.

Parulian mengatakan saat ini pihaknya sudah melakukan keberatannya kepada insutitusi-institusi yang berwenang dalam hal ini adalah Kementerian Agama. “Dalam hal ini yang merupakan leading sector-nya UU produk halal adalah Kementerian Agama, karena BPJPHnya itu badan pelakasana jaminan produk halal itu adalah badan yang berada di bawah kementerian agama,” terangnya.

Parulian menyebutkan keberatan yang telah diajukan masih belum direspon penuh oleh Kementerian Agama. Ia menduga hal tersebut terjadi karena belum rampungnya pembuatan peraturan pelaksana terhadap UU JPH. “Kira-kira tanggapan Kementerian Agama-nya karena belum dikeluarkannya peraturan pelaksanaannya,” katanya. (Baca Juga: BPJPH, Badan Penyelenggara Produk Halal Yang Belum Memiliki Kepala).

Sebagai informasi, Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal pada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag) Siti Aminah menjelaskan bahwa pemerintah saat ini masih terus membahas rancangan peraturan pelaksana Undang-Undang JPH.

Siti Aminah menjelaskan berkaitan dengan sertifikasi halal, secara garis besar, setidaknya ada dua isu yang perlu dipersiapkan peraturan pelaksananya, yakni peraturan pelaksana UU JPH serta peraturan jenis dan tarif (biaya). “Iya, sedang dalam proses pembahasan,” pungkasnya. (Baca Juga: Begini Cara BPJPH Akan Merespon Laporan Masyarakat).

Sebelumnya, sebagaimana dilansir akurat.co, Kementerian Kesehatan menekankan bahwa kebijakan sertifikasi halal untuk farmasi yang nantinya akan diatur dalam PP Jaminan Produk Halal, sebagai turunan dari UU JPH, harus bisa dipastikan tidak membebani harga obat, sehingga tetap terjangkau oleh masyarakat.

“Kebijakan tentang Jaminan Produk Halal kan sekarang masuk pada pembuatan PP, pada proses itu dikaji betul. Pada prinsipnya kita jalankan undang-undangnya, tapi pada pelaksanaannya dikaji betul dampak ekonominya juga, jangan sampai harga obat  jadi tidak terjangkau oleh masyarakat,” kata Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan (BUK) Kemkes Akmal Taher dalam Refleksi Akhir Tahun Kemkes 2016 di Jakarta, akhir 2016 lalu.

(PHB)

Dipromosikan