Koalisi Serius Revisi UU ITE: PSE Malah Menyebabkan Matinya Kreativitas

Koalisi Serius Revisi UU ITE PSE Malah Menyebabkan Matinya Kreativitas
Image Source by bikin.co

Koalisi Serius Revisi UU ITE: PSE Malah Menyebabkan Matinya Kreativitas

“Konsekuensi dari pendaftaran ini PSE akan menyerahkan sebagian tata kelola konten dan izin akses kepada negara yang dapat berdampak pada hak atas privasi.”

Koalisi Serius Revisi UU ITE baru saja mengeluarkan pernyataan yang menyatakan bahwa peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 10 Tahun 2021 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 5 Tahun 2020 tentang PSE Lingkup Privat (Permenkominfo 10/2021) dinilai memiliki masalah krusial.

Sebelumnya, diketahui bahwa Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memberikan tenggat pendaftaran hingga 20 Juli 2022 kepada PSE yang belum mendaftar. Kemudian, saat ini Kominfo memberi tambahan waktu pendaftaran lima hari kerja untuk PSE yang belum mendaftar, hingga 28 Juli 2022. Beberapa yang belum mendaftar di antaranya adalah LinkedIn, Yahoo, DoTA.

Menanggapi hal tersebut, Alia Yofira, anggota Koalisi Serius Revisi UU ITE, mengatakan bahwa konsekuensi dari pendaftaran ini berarti PSE akan menyerahkan sebagian tata kelola konten dan izin akses kepada negara, dimana setidaknya hal ini akan membahayakan karena berdampak pada hak atas privasi, khususnya perlindungan data pribadi.

“Bukannya memberikan platform digital keleluasaan untuk melakukan inovasi sebagaimana karakteristiknya, pendaftaran PSE justru menakut-nakuti user platform dengan berbagai macam restriksi yang menyebabkan matinya kemampuan daya kreatif,” lanjut Alia melalui keterangan pers pada Selasa (26/07/2022).

Koalisi Serius Revisi UU ITE telah merangkum setidaknya terdapat enam masalah terkait pendaftaran PSE  yang terdapat dalam Permenkominfo 10/2021 yaitu:

Pertama, ruang lingkup yang sangat luas dan minimnya mekanisme perlindungan data pribadi (PDP) berpotensi adanya penyalahgunaan. Dalam Pasal 21 ayat (1) Permenkominfo 10/2021 diatur bahwa PSE Lingkup Privat wajib memberikan akses terhadap Sistem Elektronik dan/atau Data Elektronik kepada Kementerian atau Lembaga dalam rangka pengawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Lebih lanjut, definisi ‘pengawasan’ sebagai dasar permintaan akses dinilai memiliki arti yang sangat luas. Hal ini juga berkaitan dengan pengundangan RUU PDP. Apabila otoritas PDP berdasarkan RUU PDP menjadi bagian dari kementerian, maka otomatis pemerintah bakal mengawasi dirinya sendiri. Alhasil, potensi  abuse of power akan sangat tinggi.

“Selain itu, Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 22 ayat (1) Permenkominfo 10/2021 juga mengatur bahwa pemberian akses terhadap sistem elektronik dan/atau data elektronik untuk kepentingan  juga untuk aparat penegak hukum,” ujarnya.

Kedua, minimnya pengawasan yudisial atau judicial oversight. Permenkominfo 5/2020 mengatur bahwa permintaan akses dilakukan tanpa adanya surat penetapan dari pengadilan terlebih dahulu. Selain itu, pada Pasal 32 Permenkominfo 10/2021 tidak mewajibkan aparat penegak hukum untuk mendapatkan surat penetapan dari pengadilan negeri untuk akses terhadap ‘data elektronik’.

“Surat penetapan yang harus meminta penetapan dari pengadilan negeri hanya berlaku bagi tindak pidana dengan ancaman pidana dua sampai lima tahun sebagaimana diatur Pasal 33 saja, namun tidak untuk permintaan akses pada PSE ini”, lanjutnya.

Ketiga, jangka waktu yang sempit untuk permintaan permohonan akses. Pada Pasal 27, 31, 37, 41, dan Pasal 42 Permenkominfo 10/2021 mengatur bahwa PSE Privat harus memenuhi permintaan akses dalam 5 hari kalender. Aturan tersebut dianggap sangat sempit dan tidak cukup bagi PSE Privat untuk menganalisa apakah permintaan akses tersebut sudah sesuai dengan peraturan UU.

Keempat, sanksi yang tidak proporsional karena adanya sanksi berupa penghentian sementara dan pemutusan akses merupakan sanksi yang disproporsional. Dalam Pasal 45 Permenkominfo 10/2021 diatur bahwa ketidakpatuhan akan berujung pada penjatuhan sanksi administratif berupa teguran tertulis, penghentian sementara, pemutusan akses, dan/atau pencabutan tanda daftar PSE.

“Selain sanksi berupa penghentian sementara dan pemutusan akses merupakan sanksi yang disproporsional dan juga melanggar prinsip proporsionalitas (dalam syarat 3 tahap pembatasan HAM). selain itu, Permenkominfo tersebut juga tidak mengatur secara ketat apakah sanksi-sanksi administratif diterapkan secara berjenjang,” imbuhnya.

Kelima, Permenkominfo 5/2020 tidak mengatur mengenai mekanisme upaya banding bagi PSE Privat untuk melakukan banding atas permintaan akses yang masuk. Artinya, para PSE ini tidak diberikan kesempatan untuk mengajukan upaya hukum.

Keenam, terbukanya akses langsung terhadap akses elektronik. Hal ini diatur dalam Pasal 39 Permenkominfo 10/2021 yang memberikan fasilitas kepada aparat penegak hukum untuk mendapatkan akses langsung terhadap sistem elektronik pengguna. Lebih lanjut, ketentuan dalam Pasal 39 ayat (4) Permenkominfo 10/2021 hanya mengatur mengenai opsi-opsi akses, tapi tidak secara eksplisit membatasi adanya akses langsung.

“Akses langsung terhadap ‘sistem elektronik’ tersebut merupakan bentuk intrusif karena memberikan akses tak terbatas kepada APH, sehingga membuka potensi penyalahgunaan wewenang yang besar”, katanya.

“Oleh karena itu, pendaftaran PSE ini justru menakut-nakuti user platform dengan berbagai macam restriksi yang menyebabkan matinya kemampuan daya kreatif,” tutupnya.

MH

Dipromosikan