Menerka Arah Pengenaan Alternative Minimum Tax (AMT) di Indonesia

Menerka Arah Pengenaan Alternative Minimum Tax (AMT) di Indonesia

Menerka Arah Pengenaan Alternative Minimum Tax (AMT) di Indonesia

Dalam mengantisipasi Wajib Pajak yang merugi terutama pada saat pandemi, Pemerintah Cq. Kemenkeu dan DPR RI merancang pengaturan terkait AMT di Indonesia

Isu Alternative Minimum Tax (AMT) mencuat pasca dimasukkannya materi muatan ini dalam Pasal 31F Rancangan undang-Undang tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah Cq. Kementerian Keuangan (Kemenkeu)

“Tentu nanti akan ada pengecualian seperti produksi komersial, start up, atau yang mendapatkan fasilitas tax holiday dan lain-lain. Karena itu sudah menjadi komitmen pemerintah,” sebagaimana disampaikan oleh Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu, Hestu Yoga Saksama, pada Acara Perayaan HUT Ikatan Konsultan Pajak Indonesia ke-56 Diskusi Panel, Pada Jumat (28/08).

Tujuannya adalah agar pelaku usaha mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) tertentu pasca Rancangan Undang-Undang (RUU) ini disahkan dan kemudian diatur dalam Peraturan Menkeu.

Lantas apa yang disebut sebagai AMT tersebut?

AMT adalah mekanisme alternatif pajak yang berorientasi pada pencegahan penghindaran pajak oleh Wajib Pajak yang marak terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Praktik-praktik seperti manipulasi transfer pricing, pembayaran bunga utang yang terlalu berlebihan, hingga hybrid instrument merupakan beberapa skema bentuk penghindaran pajak.

Dengan demikian, Wajib Pajak akan membayarkan pajak lebih rendah dari ketetapan pajak terutangnya bahkan tidak membayarkan sama sekali sebab adanya kerugian manipulatif yang diciptakan.

AMT ini kemudian berperan untuk menjamin Wajib Pajak untuk membayarkan pajak pada suatu nilai minimum pajak kepada negara atau safeguard. Beberapa negara yang telah menerapkan ini adalah Amerika Serikat, Kanada, Belgia, Argentina, India, Pakistan, hingga Tanzania.

International Monetary Fund (IMF)-pun telah merekomendasikan mekanisme AMT ini kepada Indonesia. Menurut IMF, AMT diperlukan Indonesia untuk menjamin suatu perlindungan (safe guard) atas praktik penghindaran dan pengelakan pajak oleh wajib pajak (WP) badan. Rezim AMT diusulkan dengan tarif sebesar 1% dari peredaran usaha. Dalam penerapannya, WP badan akan membayar pajak terutang berdasarkan nilai tertinggi antara rezim pajak normal PPh Badan dengan rezim AMT.

Menimbang Untung Rugi AMT di Indonesia

Dari penjabaran sebelumnya memperlihatkan bahwa AMT dapat melindungi penerimaan negara karena adanya jaminan pembayaran pajak dari setiap Wajib Pajak.

Akan tetapi, gagasan ini berpotensi kontra produktif sebab akan mendorong Wajib Pajak  untuk merekalkulasi ulang manfaat dan biaya jika berinvestasi. Akibatnya hal ini tidak sejalan dengan tujuan pemerintah untuk memperkuat basis ekonominya sebagaimana terjadi di Amerika Serikat. 

Selain itu, kebijakan pemberian insentif pajak menjadi kurang efektif dengan adanya kebijakan AMT, insentif pajak bisa tidak berlaku atau aturannya bertabrakan. Adanya AMT juga bisa membuat adanya kredit pajak dari penghasilan yang diperoleh dari luar yurisdiksi tidak berpengaruh karena adanya kewajiban minimum pembayaran pajak. Akibatnya, investor (perusahaan multinasional) juga akan berpikir ulang mengenai rencana investasinya.

Maka dari itu, kebijakan AMT juga harus dikaji secara dinamis, karena beban pajak efektif negara berbeda antar waktu termasuk Indonesia.

 

DAS

Dipromosikan