Mengenal Prinsip Strict Liability dalam Kasus Kebocoran Minyak di Laut

Mengenal Prinsip Strict Liability dalam Kasus Kebocoran Minyak di Laut
Image Source by ussfeed.com

Mengenal Prinsip Strict Liability dalam Kasus Kebocoran Minyak di Laut

Strict liability dijelaskan sebagai konsep pertanggungjawaban perdata yang tidak mensyaratkan adanya kesalahan.”

Baru-baru ini, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan menyatakan bahwa pihaknya tengah menindaklanjuti kasus tumpahan minyak Montana. Genap 13 tahun sudah berlalu sejak terjadinya peristiwa naas yang merusak lingkungan serta laut Indonesia tersebut.

Dilansir Katadata, PTT Exploration and Production atau PTTEP selaku perusahaan yang bertanggungjawab atas kebocoran minyak tersebut telah menyetujui untuk membayar ganti rugi sebesar AUD192,5 juta atau US$129 juta yang setara dengan Rp2 triliun. Kemudian, uang ganti rugi ini akan dialokasikan untuk para nelayan yang terdampak dari kebocoran minyak tersebut.

Jika berbicara mengenai pertanggungjawaban pencemar sebagaimana halnya dalam kasus kebocoran minyak tersebut, maka hal ini akan erat kaitannya dengan prinsip pertanggungjawaban mutlak atau strict liability.

Dilansir dari tulisan Andri Gunawan Wibisana dalam bukunya yang berjudul “Penegakan Hukum Lingkungan melalui Pertanggungjawaban Perdata,” strict liability dijelaskan sebagai konsep pertanggungjawaban perdata yang tidak mensyaratkan adanya kesalahan pada diri tergugat tetapi telah menimbulkan kerugian pada diri penggugat.

Dalam rezim Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (UU No. 32/2009) sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU No. 11/2020), prinsip ini diperuntukkan bagi tiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup.

“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya,” bunyi Pasal 22.23, Pasal 88 UU No. 11/2020.

Menurut Dr. Andri, konsep ini sebenarnya sangatlah mudah untuk dilaksanakan. Untuk menggugat dengan konsep ini, penggugat tak perlu membuktikan apakah perusahaan melanggar hukum sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan atau tidak.

Selama terpenuhi unsur perbuatannya abnormally dangerous yang dilakukan perusahaan dan ada kausalitas antara perbuatan dengan kerugian yang terjadi, maka menurut Andri suatu perusahaan yang melakukan pencemaran dapat dimintakan pertanggungjawaban.

Adapun berkaitan dengan kasus-kasus kebocoran minyak di tengah laut, sudah terdapat beberapa perusahaan yang dimintakan pertanggungjawaban berdasarkan prinsip strict liability ini. Salah satunya pada kasus kebocoran minyak dari pengeboran PT Pertamina.

Dilansir Media Indonesia, pada Kamis, 5 April 2018 pipa penyalur minyak mentah milik PT Pertamina mengalami kebocoran. Alhasil, hal ini mencemari Sungai Besar Nenang dan membuat sejumlah ekosistem mengalami kerusakan.

Atas hal tersebut, Pemerintah diketahui menggunakan prinsip strict liability ini untuk meminta pertanggungjawaban PT Pertamina atas pencemaran yang dilakukannya. “Strict Liability, tanggung jawab mutlak tidak memerlukan pembuktian. “Itu bisa dilakukan sesuai dengan UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) pasal 88,” ujar Dirjen Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani dilansir Media Indonesia, Jumat (25/11/2022).

 

AA

Dipromosikan