Mengupas Aspek Legal dan Perpajakan Dalam Penutupan Perusahaan

Mengupas Aspek Legal dan Perpajakan Dalam Penutupan Perusahaan

Mengupas Aspek Legal dan Perpajakan Dalam Penutupan Perusahaan

Dalam hal terjadinya pembubaran Perseroan sesuai yang tercantum dalam 142 ayat (2) huruf a UUPT menentukan bahwa setelah pembubaran perseroan karena alasan-alasan yang dimaksud dalam pasal 142 ayat (1) UUPT wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator.

Berdasarkan kondisi utang Perusahaan, Pemilik Perusahaan dapat memilih untuk menutup Perusahaan dengan sukarela dan melakukan likuidasi. Namun tidak jarang Perusahaan yang diajukan pailit oleh pihak lain karena masih memiliki kewajiban yang belum diselesaikan.

​​Konsekuensi perpajakan dari penutupan perusahaan adalah penghapusan NPWP dan nomor pengukuhan pengusaha kena pajak (NPPKP) perusahaan.  Untuk kepentingan itu, sekuritas pajak biasanya akan melakukan pemeriksaan pajak, untuk memastikan sebelum NPWP atau NPPKP perusahaan dihapus dari administrasi kantor pelayanan pajak atau KPP kewajiban perpajakannya ditunaikan kurung Apabila ada. Proses penutupan perusahaan dapat dilakukan secara langsung dengan likuidasi perusahaan maupun bertahap dengan membuat satu perusahaan menjadi tidak aktif terlebih dahulu atau dormant status  sebelum membubarkan dan mengajukan permintaan penghapusan NPWP atau NPPKP.

Dalam proses likuiditas perusahaan, aspek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) memiliki peranan yang cukup penting. Pasalnya, keberadaan PPN dan perpajakan lain seperti Pajak Penghasilan (PPh) merupakan kewajiban yang harus diselesaikan sebelum merampungkan proses likuidasi perusahaan.

Ketika perseroan dibubarkan tetapi tidak pernah melakukan likuidasi, maka perseroan tetap menjadi subyek hukum. Implikasinya, kewajiban perseroan tetap harus dijalankan. Di bidang perpajakan, perseroan yang telah dibubarkan tetapi Nomor Pokok Wajib Pajak-nya tidak dihapus atau dinonaktifkan akan tetap wajib melaporkan SPT. Apabila tidak dilakukan, perseroan dapat dikenai sanksi.

Tanggung jawab pribadi direksi dapat lahir dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan UU Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU KUP). Pada umumnya, direktur merupakan penanggung pajak perseroan, sehingga direktur wajib membayar utang pajak perseroan.

Pada perseroan yang dibubarkan, penanggung pajaknya adalah likuidator. Konsekuensinya, likuidator bertanggung jawab secara pribadi atas pembayaran pajak perseroan yang terutang. Dalam proses likuidasi, kreditur dan pemegang saham tidak boleh dibayar sebelum utang pajak lunas. Apabila perseroan tidak melunasi utang pajaknya setelah ditagih, maka aset perseroan, bahkan aset pribadi direksi, dewan komisaris, dan pemegang saham, dapat disita. Dengan demikian, sangat penting artinya bagi likuidator, direksi, dewan komisaris, dan pemegang saham agar perseroan dilikuidasi sebagaimana mestinya.

Lalu bagaimana pengaturan, mekanisme, dan kedudukan pajak dalam proses Penutupan Perusahaan? Temukan jawabannya di webinar “Mengupas Aspek Legal dan Perpajakan Dalam Penutupan Perusahaan” yang diselenggarakan oleh KlikLegal berkolaborasi dengan Perkumpulan Pengacara & Praktisi Hukum Pajak Indonesia (P3HPI) dan BP Lawyers pada Jumat, 22 April 2022 pukul 14.00 WIB.

Dengan Narasumber:

  1. Sekar Ayu, S.H, M.H, Partner BP Lawyers dan  
  2. Dr Men Wih Widiatno, S.H.,S.kom.,M.M.,M.Kn.,BKp, Ketua Dewan Sertifikasi P3HPI

Kami membuka pendaftaran Webinar Mengupas Aspek Legal dan Perpajakan Dalam Penutupan Perusahaan, terutama bagi para Pelaku Usaha, Lawyers & Legal officer, dan Praktisi pajak. Jika Anda tertarik, silahkan klik link berikut:

Dipromosikan