MIAP Paparkan Studi Dampak Ekonomi Pemalsuan Kekayaan Intelektual Tahun 2020

MIAP Paparkan Studi Dampak Ekonomi Pemalsuan Kekayaan Intelektual Tahun 2020

MIAP Paparkan Studi Dampak Ekonomi Pemalsuan Kekayaan Intelektual Tahun 2020

Fenomena pemalsuan ini memiliki sifat destruktif yang sangat besar. Dari satu produk palsu masuk ke pasar, efek dominonya bisa sampai ke peluang kerja.

Pemalsuan kekayaan intelektual merupakan tindak pelanggaran hukum yang juga memberikan kerugian ekonomis terhadap pemilik kekayaan intelektual, baik di kalangan masyarakat domestik maupun internasional. 

Hal ini menjadi perhatian Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) sehingga mengadakan studi secara berkala yang dilakukan setiap 4 tahun untuk mengetahui bagaimana dampak tindakan pemalsuan terhadap perekonomian.

Sekretaris General MIAP, Yanne Sukmadewi, menjelaskan bahwa studi dilakukan untuk menyediakan referensi bagi industri, pelaku usaha, masyarakat, dan pemerintah agar dapat memahami seberapa buruk dampak pemalsuan ini dapat mempengaruhi perekonomian Indonesia.

Pada Selasa (12/21) lalu, MIAP bersama dengan Institute for Economic Analysis of Law and Policy UPH (IEALP UPH) mengadakan sebuah acara bertemakan Praktek Perlindungan Kekayaan Intelektual di Indonesia: Studi Dampak Ekonomi Pemalsuan Tahun 2020 untuk menyampaikan hasil studi tersebut.

“Kami ingin menyampaikan sesuatu yang telah kami siapkan dari tahun 2020. Mudah-mudahan apa yang kami paparkan pada hari ini kami dapat memberi gambaran bagaimana dampak ekonomi dari pemalsuan, tren pemalsuan seperti apa, dan langkah-langkah pemerintah untuk yang telah dilakukan dan dapat terus dilakukan mengurangi pemalsuan,” ucap Dr. Justitiari P. Kusumah selaku Executive Director MIAP dalam sambutannya.

Analisis Dampak Ekonomi Pemalsuan 

Acara ini turut menghadirkan Ir. Razilu selaku Plt Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual (Dirjen KI) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). 

Dalam sambutannya, ia menjelaskan bahwa dari hasil studi MIAP di tahun 2020, terdapat kenaikan signifikan atas praktik pemalsuan terhadap produk yang dilindungi HKI dengan nilai kerugian yang mencapai Rp291 triliun.

Hal tersebut dimuat dan dipublikasikan melalui laporan yang berjudul Economic Impacts of Counterfeiting and Piracy in Indonesia (2020).

“Angka ini meningkat berkali-kali lipat dari nilai kerugian tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2015, angka kerugian adalah Rp 65,1 triliun dan di tahun 2010 sebesar Rp 37 triliun,” jelas Razilu.

Lebih lanjut, hasil studi MIAP disampaikan oleh Assoc. Prof. Dr. Henry Soelistyo, S.H., LL.M yang merupakan perwakilan dari IEALP UPH.

Henry menjelaskan bahwa metode perhitungan yang digunakan dalam studi ini adalah Input-Output Analysis (I-O Analysis). Will Kenton menjelaskan I-O Analysis sebagai “a form of macroeconomic analysis based on interdependencies between economic sectors or industries”.

Analisis dilakukan berdasarkan economic shock. “Misalnya ada suatu produk palsu masuk ke pasar, kemudian pasar akan terganggu karena kehadiran produk tersebut. Maka harus dihitung dampak kerugiannya pada pemilik produk aslinya, kehilangan profitnya, hingga perhitungan potensi gangguan kontinuitas produksi,” jelas Henry.

Fenomena pemalsuan ini memiliki sifat destruktif yang sangat besar. Dari satu produk palsu masuk ke pasar, efek dominonya bisa sampai ke peluang kerja. 

Selain itu, akan terdapat pula kerusakan-kerusakan ekonomi yang jika dikuantifikasi dalam nilai rupiah maka munculah angka Rp 291 triliun sebagaimana disebutkan sebelumnya.

“Dalam assessment yang kami lakukan fenomena pemalsuan produk ini sudah mengepung kita sejak lama. Pemalsuan ini sudah menimbulkan dampak yang distortif terhadap tatanan hukum dan ekonomi. Kemudian mendilusi nilai etika, kita sudah sampai tidak bisa membedakan mana yg original mana yang counterfeit. Hal ini tentu akan menjadi barrier dalam perdagangan internasional,” ujar Henry.

Henry kemudian menjelaskan bahwa banyak masyarakat Indonesia yang telah terbiasa membeli barang palsu. Hal ini dikarenakan ada kemudahan untuk memperoleh produk palsu.

“Ini tantangan yang cenderung sudah menjadi kebiasaan untuk kita. Kita cenderung abai apakah suatu barang itu original atau asli, yang penting bisa dipakai atau dinikmati,” tambah Henry.

Sifat dan Faktor Pendorong Pemalsuan

Henry menyebutkan bahwa dalam melakukan studi ini, pihaknya juga melakukan wawancara dengan para pelaku atau mantan pelaku pemalsuan. Ia juga telah menyiapkan list of problem sebagai berikut:

“Sifat kejahatan kami bisa simpulkan bahwa para pelaku pemalsuan ini berada dalam posisi yang diuntungkan, karena tidak sulit melakukan imitasi produk,” ujar Henry

Selain itu, pelaku pemalsuan HKI umumnya mempunyai kemampuan untuk mengelabuhi dan menyesatkan konsumen. Dalam praktiknya, mereka juga dapat melibatkan orang lain sebagai tenaga kerja, baik dalam produksi maupun distribusi.

Lebih lanjut Henry memaparkan bahwa pemasarannya pun dapat dilakukan dengan mudah. Hal ini kemudian turut menginspirasi orang lain untuk melakukan kejahatan yang sama. 

Ini mengapa peristiwa pemalsuan ini seolah menjadi suatu pandemi. Orang cenderung akan berpikir, jika A dapat mendapat keuntungan besar dari hasil pemalsuan, kenapa saya tidak?”  jelas Henry.

Hal ini didukung pula dengan faktor pendorong yaitu kecilnya resiko untuk ditangkap atau ditindak secara hukum.

Sebagai potret penegakan hukum, sebenarnya Indonesia telah memiliki aturan hukum yang cukup dan memadai terkait pemalsuan HKI. Namun, langkah penindakannya masih kurang efektif. Tidak ada sanksi hukum yang dapat menciptakan deterrent effect

Dari 110 kasus yang diputuskan pengadilan, 80 persen putusan hanya memberikan sanksi hukuman percobaan atau hukuman rendah lainnya. Hal ini menyebabkan faktor pencegahannya menjadi lumpuh.

Tipe dan Karakteristik Produsen Produk Palsu

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti kemudian dapat mengidentifikasi produsen produk palsu menjadi 3 tipe, yaitu peniru produk, penipu, dan penyelundup dengan karakter sebagai berikut:

Tipe ProdusenProduksi KomoditiKemampuan Usaha dan Kegiatan
Peniru Produk
  1. Pakaian dan aksesoris bermerek;
  2. Tas dan Barang dari bahan kulit;
  3. Makanan;
  4. Tinta cartridge.
  1. Memiliki peralatan produksi dan sarana lainnya;
  2. Memiliki skill dan entrepreneurship;
  3. meniru/membuat produk imitasi;
  4. Membuat produk yang compatible dengan harga murah.
Penipu
  1. Kosmetik dan parfum;
  2. Produksi farmasi;
  3. Suku cadang otomotif.
  1. Memiliki peralatan produksi;
  2. Memalsukan produk seperti aslinya;
  3. Menyesatkan konsumen;
  4. Profit oriented tanpa etika;
  5. Mengancam kesehatan dan keselamatan konsumen.
Penyelundup
  1. Tas tangan bermerek;
  2. Jam tangan dan perhiasan;
  3. Pakaian dan tekstil;
  4. Gadget dan peralatan elektronik;
  5. Rokok dan minuman keras.
  1. Memiliki jaringan dengan tokoh kriminal;
  2. Mengelak pembayaran pajak;
  3. Opportunistic;
  4. Profit oriented.

 

Langkah Pencegahan, Perlawanan dan Remedial

Hasil studi membagi strategi pencegahan, perlawanan, dan remedial menjadi tiga. Pertama, strategi perlindungan produk yang dapat dilakukan oleh pemilik produk sendiri. 

Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan promosi merek guna mengedukasi konsumen untuk cermat membeli produk asli, memodifikasi produk atau menggunakan kemasan yang khas guna mempersulit pemalsuan. 

Kemudian dapat pula menggunakan hologram, label kontrol/penanda, kode produksi (khusus dan konfidensial), atau menggunakan microchip untuk menandai keaslian produk.

Strategi kedua adalah melalui penegakan hukum, yaitu litigasi, investigasi, dan negosiasi. Dalam hal ini, dapat dilakukan operasi justitia untuk menindak pelaku perdagangan palsu, atau mengajukan gugatan perdata/aduan pidana guna penindakan.

Strategi ini dapat juga diimplementasikan dengan melakukan investigasi pasar produk palsu dan melacak sumber asal produksinya.

Adapun strategi negosiasi dalam hal ini merujuk pada penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Akan tetapi, mengenai hal ini masih menjadi pembahasan apakah setelah ditangani kepolisian, tetap bisa dialihkan penyelesaiannya menjadi di luar pengadilan. 

Strategi ketiga adalah kemitraan strategis, yaitu melakukan kerja sama dengan pemerintah, aparat penegak hukum, dan mengembangkan koalisi anti pemalsuan bersama dengan organisasi profesi, pelaku usaha, lembaga konsumen, serta masyarakat umum.

Sebelumnya, Razilu juga berpendapat bahwa data tersebut seharusnya dapat menjadi bahan refleksi bagi seluruh pemangku kepentingan. Baik Itu pemerintah yang memiliki tanggung jawab di bidang pelayanan, pengawasan, pencegahan, kerjasama, hingga penegakan hukum. Tak hanya itu, seharusnya ini menjadi bahan refleksi juga bagi lembaga organisasi non pemerintah seperti konsultan kekayaan intelektual, lembaga swadaya masyarakat, hingga masyarakat baik perusahaan dan perorangan.

“Perlu disadari bahwa agenda perang melawan pemalsuan dan atau pembajakan produk HKI merupakan tanggung jawab bersama, karena sumber dan dampak yang begitu luas di berbagai sektor,” tegasnya.

Razilu kemudian menjelaskan bahwa Kemenkumham telah melakukan berbagai upaya dalam rangka melakukan perlindungan atas hak kekayaan intelektual.

“Menyadari bahwa upaya pemberantasan pelanggaran HKI tidak mungkin dilakukan sendiri, maka Dirjen KI telah menginisiasi kerja sama dengan berbagai lembaga lainnya untuk melakukan agenda perbaikan regulasi dan implementasi penegakan hukum atas pelanggaran HKI,” jelas Razilu.

Ia juga menyinggung bahwa saat ini Indonesia masih berada dalam list internasional negara yang perlindungan HKInya belum efektif. Untuk itu, Kemenkumham terus meningkatkan upaya perlindungan dengan melibatkan berbagai pihak.

“Pada tahun 2020 kita telah membentuk satuan tugas operasi perlindungan HKI Indonesia, yang saat ini terdiri dari Dirjen KI sebagai Leading, diikuti kepolisian RI melalui Dirtipeksus Bareskrim Polri. Kemudian Kementerian Keuangan melalui Dirjen Bea Cukai, dan Kementerian Komunikasi dan Informasi melalui Dirjen APTIKASI Informasi, dan BPOM,” lanjut Razilu.

Sebagai tambahan, Henry menjelaskan sebenarnya terdapat strategi lain yang dapat dilakukan yaitu melalui pendekatan lembut yang merangkul dan memberdayakan pelaku pemalsuan.

“Sebenarnya kan mereka punya kemampuan produksi, kita bisa arahkan agar mereka dapat melakukan produksi terhadap barang secara legal,” tutup Henry.

 

PNW

Dipromosikan