Otoritas Pajak Minta Definisi Beneficial Owner Di Korporasi Diperjelas

Definisi yang jelas perlu dimasukan ke Peraturan Presiden.

Sumber Foto: Youtube.

Kasi Pertukaran Informasi Perpajakan Internasional Direktorat Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak Abdul Gafur mengatakan bahwa pihaknya meminta agar definisi pihak yang menjadi Beneficial Owner (BO) atau pemilik manfaat sebenarnya terhadap korporasi diperjelas.

Abdul Gafur menilai selama ini pengertian dari wakil perusahaan itu disamakan dengan definisi BO yang pada sebenarnya berbeda. Definisi ini sangat penting untuk menciptakan transparansi beneficial owner pada korporasi. (Baca Juga: Kebutuhan Transparansi Beneficial Ownership Muncul Pasca Kasus Panama Papers).

Selama ini, kata Abdul, upaya mengungkap pihak yang menjadi pemilik manfaat sebenarnya sangat sulit dilakukan. Hal tersebut terjadi karena di Indonesia data informasi mengenai BO tidak terdefinisikan dengan baik. Untuk itu, ia meminta dari pihak Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dapat menerangkan lebih jelas terkait BO.

“Nanti Pak Fithriadi dari PTATK sebagai penggagas Perpres mengenai BO akan menerangkan lebih jelas. Itulah sepanjang praktiknya, itu terobosan yang luar biasa menurut kami untuk setidak-tidaknya agar memenuhi persyaratan internasional,” ujar Abdul saat diskusi Keterbukaan Beneficial Ownership, di Hotel JS Luwansa Jakarta, pada Kamis (5/10). (Baca Juga: Perpres Beneficial Ownership Diharapkan Dapat Membantu PPATK untuk Penelusuran Aliran Dana).

Abdul pun menyarankan penyimpanan informasi data di Indonesia ini harus dikelola dengan baik, misalkan berada dibawah kewenangan Kementerian Perdagangan. Kemudian, ia juga mengusulkan adanya kewajiban korporasi menyampaikan identitas BO kepada otoritas yang berwenang karena di dalam undang-undang perseroan terbatas itu tidak diatur mengenai kewajiban memberikan data BO.  “Kalau tidak ada, makanya Perpres ini membuat aturan itu,” katanya.

Lebih lanjut, Abdul meminta agar data informasi mengenai identitas BO dapat disimpan menjadi satu dokumen. Sebab, menurutnya, keterbukaan informasi mengenai BO itu sangat penting. Dengan data BO tersebut yang ada di dalam negeri maupun data BO yang terdapat dari informasi negara-negara mitra itu sangat mendukung dan membantu Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk bekerja lebih maksimal untuk mengidentifikasi transaksi-transaksi elektronik yang mengakibatkan adanya aliran dana yang tersembunyi.

“Jadi, kami, DJP telah memeriksa kasus private rising itu harus dapat data dasar hubungan istimewa antara usaha di Indonesia dengan yang di luar negeri sehingga dapat diteruskan untuk pemeriksaan. Jadi kalau tidak ada hubungan melalui pemeriksaan, nah sekarang mencari itu yang sulit. Kalau dapat data BO di sini kita tahu bahwa sebenarnya ada orang yang memang memiliki kontrol dari segi management yang sama di sini dengan di sana,” jelas Abdul. (Baca Juga: Dunia Perpajakan Perlu Transparansi Informasi Data Beneficial Owner).

Dengan demikian, Abdul berharap setiap insititusi dapat berkordinasi dengan insitusi lainnya supaya regulasi terkait BO segera terealisasi dengan baik. Pasalnya, keterbukaan BO juga tidak hanya terkait dengan perpajakan saja. Banyak pihak yang berkepentingan dengan transparansi informasi data BO tersebut, seperti PPATK dan KPK juga merupakan salah satu lembaga yang cukup mendorong terbitnya regulasi itu.

“Nah ini digagas dan didorong dari teman-teman PPATK dan contohnya kita ambil dari pajak, dari KPK, dari semua elemen, dari Kementerian Hukum dan HAM, Koperasi, dari perdagangan,” pungkasnya.

(PHB)

Dipromosikan