Pemegang Lisensi Kurang Diakomodir dalam PP No.20/2017

Seharusnya pemegang lisensi disamakan posisinya dengan pemegang hak merek atau hak cipta.

Wakil Ketua Umum AKHKI Suyud Margono. Sumber Foto: Dok. Pribadi.

Wakil Ketua Asosiasi Konsultan Hukum Kekayaan Intelektual (AKHKI) Suyud Margono menilai Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2017 tentang Pengendalian Impor atau Ekspor Barang yang Diduga Merupakan atau Berasal dari Hasil Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual kurang mengakomodir kepentingan pemegang lisensi.

Suyud mengatakan bahwa PP hanya menyebutkan “pemilik atau pemegang hak atas merek atau hak cipta” sebagai pihak yang bisa meminta penegahan atau penangguhan terhadap barang impor atau ekspor yang diduga sebagai bajakan dari merek atau hak cipta yang dimilikinya. Padahal, dalam rezim hukum HKI, ada satu pihak lagi yang perlu dilindungi haknya, yakni pemegang lisensi. (Baca Juga: Sistem Perekaman HKI dalam PP No.20/2017 Dinilai Sebagai Langkah Progresif).

Sebagai informasi, dalam rezim hak cipta, pemegang lisensi diatur dalam UU No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Pasal 1 angka 20 UU Hak Cipta menyebutkan bahwa, “pemegang lisensi adalah pihak yang diberikan izin tertulis yang diberikan oleh pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait untuk melaksanakan hak ekonomi atas ciptaannya atau produk hak terkait dengan syarat tertentu.”

Suyud menjelaskan bahwa banyak merek atau hak cipta di Indonesia yang memiliki pemegang lisensi atau pemegang agen. Ia menjelaskan bahwa pemegang lisensi di Indonesia juga dirugikan dengan adanya impor atau ekspor barang yang diduga bajakan terhadap lisensi yang dipegangnya. “Itu dirugikan terhadap produk-produk yang mungkin ada palsunya. Mungkin spare part yang ingin diekspor. Ini juga merugikan bagi pemegang lisensi kan,” tukasnya. (Baca Juga: DPR Apresiasi Terbitnya PP Pengendalian Impor atau Ekspor Barang Diduga Bajakan).

Oleh karena itu, Suyud menuturkan seharusnya PP tersebut tidak hanya mengatur sebatas pemegang hak, tetapi juga pemegang lisensi. “Jadi menurut saya pemegang hak di sini adalah pemegang lisensi juga. Harusnya bisa ditambahkan jadi pemilik lisensi merek ataupun penerima hak lebih lanjut dari hak kekayaan intelektual bisa mengajukan upaya ini (penegahan dan penangguhan,-red),” jelasnya.

Menurut Suyud, barang-barang yang beredar di pasar adalah produk-produk yang berasal dari adanya lintas batas negara. Sehingga, menciptakan transaksi investasi, franchise, lisensi dan sebagainya. “Dan sebetulnya itu juga harus dilindungi karena dia (seharusnya,-red) memiliki hak untuk mengajukan penyetopan barang melalui di wilayah kepabeanan,” tukasnya. (Baca Juga: Mekanisme Penangguhan Barang Impor atau Ekspor Diduga Bajakan Melalui Ketua Pengadilan Dinilai Kurang Efektif).

Suyud mengusulkan agar pemerintah menambahkan kategori pemilik atau pemegang hak ditambahkan dengan kategori pemegang hak lebih lanjut atau pemegang lisensi. “Jadi dia bisa mengajukan sendiri atau mengajukan ke pengadilan dnegan ketetapan putusan, dengan dokumentasi kepemilikan lisensi. Sertifikatnya kan ada,” tambahnya.

Apalagi, lanjut Suyud, aturan di Indonesia menyatakan bahwa kepemilikan lisensi harus ditandai dengan sertifikat dan terdaftar. “Misalnya Toyota, dia harus sudah daftar dulu kan di Indonesia. Misalnya Nike itu terdaftar di Indonesia tentunya dia menggunakan lisensinya. Tentu yang dirugikan itu tidak saja si pemilik merek,” ujarnya.

“Nike atau si Toyota tadi tidak mesti harus diperiksa dari Jepang sana kan. Itu tidak juga efektif. Saya sarankan untuk pemilik hak lebih lanjut yang valid dapat mengajukan ketetapan atau meminta untuk melakukan pengendalian impor barang palsu yang melanggar HKI,” pungkas Suyud. (Baca Juga: Praktisi Hukum Sayangkan PP No.20/2017 Secara Teknis Hanya Cover Merek dan Hak Cipta).

(PHB/ASH)

Dipromosikan