Penafsiran Baru MK: Surat Dakwaan yang Batal Demi Hukum Dapat Diajukan Kembali Satu Kali

Penafsiran Baru MK Surat Dakwaan yang Batal Demi Hukum Dapat Diajukan Kembali Satu Kali
Image Source by mkri.id

Penafsiran Baru MK: Surat Dakwaan yang Batal Demi Hukum Dapat Diajukan Kembali Satu Kali

“Jaksa penuntut umum dapat mengajukan kembali surat dakwaan yang batal demi hukum sebanyak satu kali. Jika masih ada keberatan, maka akan diputus hakim di putusan akhir.”

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP), surat dakwaan memiliki syarat formil dan materil. Kedua syarat ini termaktub dalam Pasal 143 ayat (2) huruf (a) KUHAP (syarat formil) dan Pasal 143 ayat (2) huruf (b) KUHAP (syarat materiil) yang berbunyi sebagai berikut:

“Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi : 

  1. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;
  2. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.”

Lebih lanjut, dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP, disebutkan bahwa “Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.” Dalam hal ini, jika suatu surat dakwaan tidak memenuhi syarat materiil maka surat dakwaan tersebut dapat diputuskan batal demi hukum.

Namun demikian, dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja memberikan penafsiran baru terhadap frasa “batal demi hukum” dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP, sebagaimana dilansir dari mkri.id (31/10/2022).

“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan frasa ‘batal demi hukum’ dalam ketentuan norma Pasal 143 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘terhadap surat dakwaan jaksa penuntut umum yang telah dinyatakan batal atau batal demi hukum oleh hakim dapat diperbaiki dan diajukan kembali dalam persidangan sebanyak satu kali, dan apabila masih diajukan keberatan oleh terdakwa/penasihat hukum, hakim langsung memeriksa, mempertimbangkan, dan memutusnya Bersama-sama dengan materi pokok perkara dalam putusan akhir”, ucap Ketua MK Anwar Usman pada saat membacakan Amar Putusan Nomor 28/PUU-XX/2022.

MK menilai apabila frasa “batal demi hukum” dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP dimaknai menjadi “pengajuan perbaikan surat dakwaan hanya dapat dilakukan satu kali setelah surat dakwaan dinyatakan batal atau batal demi hukum oleh hakim”, maka pemaknaan tersebut dapat menciptakan kepastian dan keadilan hukum, ujar Suhartoyo dalam Putusan Nomor 28/PUU-XX/2022 dibacakan pada Senin (31/10/2022) di Ruang Sidang Pleno MK.

Artinya, jika terdapat dakwaan kedua yang diajukan Jaksa Penuntut Umum akan akan tetapi masih diajukan keberatan mengenai keterpenuhan syarat formil dan materiil, maka dengan adanya penafsiran baru ini, hakim harus memeriksa surat dakwaan tersebut secara bersama-sama dengan materi pokok perkara yang diputus secara bersama-sama dalam putusan akhir.

“Dengan diberikan pemaknaan baru oleh Mahkamah atas norma Pasal 143 ayat (3) KUHAP, maka terhadap perkara yang saat ini sudah dinyatakan surat dakwaan JPU batal atau batal demi hukum, baik sekali atau lebih oleh hakim, maka dapat diajukan untuk satu kali lagi dan kemudian hakim memeriksanya bersamaan dengan materi pokok perkara. Sementara itu, terhadap perkara yang belum pernah sama sekali diajukan surat dakwaan oleh JPU dalam persidangan, berlaku ketentuan sebagaimana yang telah diputuskan ini, tutur Suhartoyo sebagaimana dilansir dari mkri.id (31/10/2022).

Lebih lanjut, Suhartoyo juga menyampaikan bahwa tanpa ada kejelasan status dan batas mengenai kapan waktu suatu perkara selesai, maka hal ini akan berakibat pada kehilangan hak konstitusional dari para pihak.

Hal ini disebabkan karena KUHAP yang tidak memberikan kejelasan pemaknaan Pasal 143 ayat (3) yang diputus berdasarkan putusan sela. Dengan demikian, terdapat suatu celah hukum dalam pengaturan mengenai perbaikan surat dakwaan yang berdampak pada ketidakpastian dan ketidakadilan hukum bagi terdakwa maupun bagi korban tindak pidana. Dalam pertimbangannya, Suhartoyo juga mengatakan bahwa secara universal hal demikian juga tidak sejalan dengan asas litis finiri oportet yang berarti setiap perkara harus ada akhirnya.

 

RAR

Dipromosikan