Penetapan Label Halal Asing Belum Bisa Diakui Di Indonesia

Harus berkoordinasi dengan MUI.

Direktur LPPOM MU Lukmanul Hakim. Sumber Foto: www.eramuslim.com

Direktur Lembaga Pengkajian Pangan dan Obat Obatan dan Kosmetik (LPPOM MUI) Lukmanul Hakim mengatakan bahwa sertifikasi halal atas produk halal yang dimiliki negara lain belum bisa diakui oleh Indonesia atas kehalalannya karena belum ada perjanjian kerjasamanya.

Lukmanul menjelaskan bahwa setiap negara memiliki lembaga sertifikasi halal masing-masing sehingga standar proses sertifikasi halal setiap negara belum tentu sama. Ia mencontohkan kasus Mie Samyang asal Korea yang ternyata ditemukan adanya kandungan babi. Andaipun mie tersebut memiliki sertifikat halal dari Korea, itu tidak serta merta bisa digunakan di Indonesia.

“Lembaga Korea itu belum memiliki kerja sama dengan MUI. Artinya, belum lolos pengujian atau akreditasi oleh MUI, terkait kriterianya, standarnya, rem powernya, tenaga kerjanya, kemudian tenaga ahlinya. Kami belum melihat sampai ke situ sehingga kami belum bisa mengeluarkan rekognisi, sehingga lembaga ini termasuk lembaga yang kita tidak rekognisi,” terangnbya kepada KlikLegal, Selasa (20/6).

“Dengan demikian sertifikat halalnya tidak bisa menjadi tanggung jawab kami. Memang dia belum kredibel kira-kira seperti itu,” tambahnya.

Hal sedana juga diungkapkan oleh Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi. Ia mengatakan bahwa sertifikasi halal dari luar negeri perlu melakukan koordinasi dengan lembaga yang memiliki kompetensi dan otoritas dalam penetapan fatwa di Indonesia, dalam hal ini adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI).

“Harus dikordinasikan dan di harmonisasikan dengan LPPOM MUI, tidak bisa langsung. Tetap harus ada otorisasi dari LPPOM MUI karena bisa saja standarnya berbeda,” katanya.

Dihubungi terpisah, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ledia Hanifa Amaliah menjelaskan bahwa dalam amanat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menjelaskan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) harus membuat mutual recognition agreement (MRA) dengan otoritas pemberi halal di luar negeri.

Amanat itu bisa ditemukan dalam Pasal 6 huruf j yang berbunyi, “Dalam penyelenggaraan JPH, BPJPH berwenang: melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.”

Ledia menjelaskan dengan adanya UU JPH maka proses pengawasan terhadap barang impor yang tidak halal bisa dilakukan dengan mudah. “Nanti kalau sudah ada itu MRA-nya, misalnya produk-produk Korea, di sana ada lembaga yang memang memiliki otoritas pemberi sertifikat halal. Begitu di sana sudah diberikan (sertifikat halal,-red), impor ke Indonesia itu jadi cuma registrasi,” ujarnya.

“Tapi kalau sudah ada MRA, terus dia belum dapat izin (sertifikat halal,-red) dari sana, berarti dia tidak lolos di sana, apalagi di sini (di Indonesia,-red),” ujar mantan Ketua Panja RUU JPH ini.

Lebih lanjut, Lukamanul menjelaskan proses sertifikasi halal meliputi melakukan pendaftaran dengan melampirkan dokumen yang diperlukan. Kemudian, melakukan pemeriksaan adminsitrasinya untuk kecukupan dan kesesuaian dokumen, lalu melakukan audit dan pemeriksaan ke lapangan.  Setelah itu, dibahas di rapat ahli untuk menetapkan standar halal dan menetapkan fatwa, serta menerbitkan sertifikat halal.

(PHB)

 

Dipromosikan