POJK Baru Terbit! Kukuhkan Integritas Jasa Keuangan

POJK Baru Terbit! Kukuhkan Integritas Jasa Keuangan
Image Source: dream.co.id

POJK Baru Terbit! Kukuhkan Integritas Jasa Keuangan

“Penerbitan aturan baru ini juga dilakukan untuk mendukung regulasi yang sesuai dengan perkembangan prinsip internasional yang mengatur mengenai penerapan program anti pencucian uang (APU), pencegahan pendanaan terorisme (PPT), dan pencegahan pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal (PPPSPM).”

Sebagai bagian dari komitmennya untuk memperkuat pencegahan tindak pidana pencucian uang, pendanaan terorisme, dan pendanaan senjata pemusnah massal, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan aturan baru.

Aturan sebagaimana dimaksud ialah Peraturan OJK Nomor 8 Tahun 2023 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang, Pencegahan Pendanaan Terorisme, dan Pencegahan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal di Sektor Jasa Keuangan (POJK No.8/2023).

Selain bertujuan untuk memperkuat integritas Sektor Jasa Keuangan (SJK), POJK No.8/2023 sendiri diterbitkan untuk menggantikan POJK Nomor 12/POJK.01/2017 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan sebagaimana telah diubah dengan POJK Nomor 23/POJK.01/2019.

Penerbitan aturan baru ini juga dilakukan untuk mendukung regulasi yang sesuai dengan perkembangan prinsip internasional yang mengatur mengenai penerapan program APU, PPT, dan PPPSPM.

Dengan menambahkan ketentuan mengenai PPPSPM, POJK No.8/2023 merupakan penyempurnaan dari POJK No.23/POJK.01/2019. Oleh karena itu, melansir dari kontan.co.id (4/7/2023), POJK in berisi panduan pencegahan dan pelaporan aktivitas atau transaksi yang terkait dengan APU, PPT, dan PPSPM. 

Dalam implementasinya, SJK harus meningkatkan identifikasi dan verifikasi nasabah, melaporkan transaksi mencurigakan dengan akurat, mengatur sistem dan kontrol internal, serta memberikan pelatihan kepada pegawai untuk mengenali tanda-tanda transaksi yang mencurigakan.

Pencegahan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal

Belakangan ini, pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal menjadi isu global yang perlu ditangani oleh semua negara karena mengancam keamanan dunia.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada akhir tahun 2021, sebagaimana dilansir dari jawapos.com (22/12/2021), mengungkapkan adanya temuan sumber pendanaan PPSPM milik Korea Utara di Indonesia. Menurut PPATK, sumber tersebut mengumpulkan dana secara legal di Indonesia sebelum dikirim ke Korea Utara.

Dikutip dari lama resmi OJK, Frank Calestino selaku Counter Proliferation Financing Trainer menyampaikan bahwa dalam PPSPM, terdapat individu dan organisasi yang terlibat dalam pengembangan dan penyebaran senjata pemusnah massal.

Terkait hal ini, PJK perlu memahami secara mendalam definisi dan risiko pencucian uang serta hubungannya dengan pendanaan proliferasi. Oleh karenanya, kegiatan keuangan memainkan peran penting dalam upaya melawan proliferasi melalui investigasi, analisis, dan pencegahan.

Frank menyebutkan, proliferator (pembangun senjata pemusnah massal) bekerja melalui jaringan pengadaan yang menjadi perhatian dalam isu proliferasi. Sebagai contoh, program rudal nuklir dan balistik dari Korea Utara telah mencapai tingkat global dan dikendalikan oleh rezim yang tidak dapat diprediksi.

Adapun, dalam pengadaan senjata pemusnah massal, dimensi keuangan melibatkan transaksi perdagangan gelap yang menggunakan sistem keuangan formal, beroperasi untuk keuntungan finansial, dan rentan terhadap gangguan pendanaan.

Sejalan dengan hal tersebut, implementasi POJK No.8/2023 ini memiliki tantangan berupa celah-celah yang dapat dimanfaatkan oleh pihak berkepentingan. Oleh karena itu, pemantauan dan evaluasi yang berkelanjutan dibutuhkan untuk menjaga efektivitas.

Di sisi lain, edukasi juga menjadi penting untuk membangun pemahaman yang baik tentang pentingnya pencegahan pendanaan senjata pemusnah massal. Dengan pemahaman yang baik, SJK akan lebih siap dalam menjalankan perannya.

Berdasarkan perannya tersebut, POJK No.8/2023 dalam Pasal 3 mengatur bahwa PJK wajib menerapkan program APU, PPT, dan PPPSPM secara efektif dengan memperhatikan risiko serta karakteristik usaha PJK. 

Transparansi Beneficial Owner oleh Korporasi

Tak hanya edukasi terhadap PJK, tetapi edukasi terhadap korporasi juga penting. Sebab, korporasi dapat menjadi target dalam upaya pencucian uang atau pendanaan terorisme oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Dalam hal ini, pelaporan pemilik manfaat atau beneficial owner menjadi salah satu upaya untuk mengidentifikasi risiko penyalahgunaan badan hukum dalam pencucian uang atau pendanaan terorisme, sesuai dengan Rekomendasi 24 Financial Action Task Force (FATF).

Baca Juga: Korporasi Wajib Lapor Beneficial Owner, Pahami Kriterianya!

Menurut panduan FATF, ketersediaan informasi mengenai pemilik dan Beneficial Owner korporasi dapat secara signifikan mengurangi penyalahgunaan korporasi. 

Informasi mengenai pemilik manfaat ini penting bagi aparat penegak hukum dan otoritas dalam mengidentifikasi individu yang bertanggung jawab atas kejahatan dan melakukan pelacakan uang dalam proses penyelidikan.

Mengutip dari laman resmi OJK, isu transparansi mengenai Beneficial Owner telah menjadi topik diskusi dan telah diadopsi oleh banyak negara. Salah satunya di Indonesia, hal ini telah didukung melalui pengesahan kerangka hukum yang mewajibkan transparansi Beneficial Owner bagi korporasi, PJK, dan otoritas.

PJK diwajibkan untuk melakukan customer due diligence terhadap pemilik manfaat nasabah dengan upaya terbaik mereka. Hal ini menjadi muatan yang diatur dalam dalam POJK terbaru, yaitu POJK No.8/2023. 

Kewajiban Pelaporan Beneficial Owner

Dasar hukum kewajiban pelaporan Beneficial Ownership oleh korporasi tertuang dalam peraturan berikut:

  1. Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dan TPPT (Perpres No.13/2018);
  2. Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi (Permenkumham No. 15/2019); dan
  3. Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 21 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengawasan Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi (Permenkumham No.21/2019).

Pasal 14 Perpres No.13/2018 secara spesifik mewajibkan korporasi untuk menerapkan prinsip mengenali pemilik manfaat korporasi.

Dalam hal ini, korporasi harus menunjuk pejabat atau pegawai yang bertanggung jawab untuk melaksanakan prinsip tersebut. Selain itu, perusahaan juga harus menyediakan informasi tentang korporasi dan pemilik manfaat berdasarkan permintaan instansi berwenang dan instansi penegak hukum.

Sementara itu, sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 Permenkumham No.15/2019 korporasi wajib menyampaikan informasi yang benar mengenai pemilik manfaat dari korporasi kepada Menteri Hukum dan HAM.

Informasi tersebut harus disampaikan pada saat permohonan pendirian, pendaftaran, dan/atau pengesahan korporasi ataupun pada saat korporasi menjalankan usahanya.

Sedangkan pada Permenkumham No.21/2019, pada intinya korporasi juga memiliki kewajiban untuk terlibat dalam kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM.

Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Permenkumham No.21/2019, salah satu kegiatan pengawasan oleh korporasi adalah dengan melaksanakan rekomendasi langkah perbaikan dan/atau penyempurnaan atas hal yang ditemukan dalam pengawasan Menteri Hukum dan HAM. Selanjutnya, korporasi wajib melaporkan perbaikan tersebut kepada Menteri Hukum dan HAM kembali.

 

SS

Dipromosikan