Raditya Kosasih, Praktisi Hukum Teknologi Digital yang Menahkodai APPDI

Raditya Kosasih, Praktisi Hukum Teknologi Digital yang Menahkodai APPDI

Raditya Kosasih, Praktisi Hukum Teknologi Digital yang Menahkodai APPDI

Berawal jatuh hati dengan e-government, kini Kosasih berjuang bersama APPDI untuk melakukan edukasi dan advokasi terkait pelindungan data pribadi.

Salah satu praktisi hukum yang telah lama berkiprah di bidang hukum dan teknologi digital, khususnya terkait isu pelindungan data pribadi, ialah Raditya Kosasih. Meski berusia relatif muda, Kosasih telah melalang buana mulai dari berkarir di firma hukum, sektor publik, hingga kini di start-up decacorn ternama. Ia dan rekan-rekan seprofesi juga mendirikan Asosiasi Praktisi Pelindungan Data Indonesia (APPDI)

Kosasih menempuh pendidikan hukum pertamanya di Universitas Indonesia pada tahun 2005 hingga 2009 silam. Rupanya, ia telah menunjukkan ketertarikan ke bidang hukum dan teknologi digital sejak di bangku perkuliahan.

Ketika diwawancarai KlikLegal, Minggu (19/09), ia mengaku, mata kuliah favoritnya semasa kuliah dulu adalah hukum telematika. “Waktu itu menurut saya, memang itu relevan sekali dengan perkembangan teknologi, walaupun agak berbeda dengan yang sekarang, tapi kan teknologi sudah cukup maju, jadi banyak sekali pertanyaan-pertanyaan terkait dengan hukum dan teknologi,” ujarnya.

Namun, setelah menyandang gelar sarjana hukum pada 2009 silam, Kosasih tak langsung terjun ke bidang hukum dan teknologi digital. Ia mengawali karirnya, dengan berkarir sebagai associate di salah satu corporate law firm ternama. Disana, ia banyak berkecimpung di bidang pasar modal atau capital market.

(Baca juga: Urgensi Data Protection Officer Dalam Pelindungan Data Pribadi di Perusahaan)

Tertarik E-Government, Hingga Studi di Belanda

Seusai berkarir di firma hukum, Kosasih bermigrasi ke sektor publik dengan menjadi bagian dari Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP-PPP). Disana, ia terlibat dalam pengembangan sistem elektronik perizinan, bernama Satu Informasi Perizinan (SIP).

Sejak itu, Kosasih mulai banyak bersinggungan dengan teknologi, khususnya terkait e-government, yakni penggunaan sistem dalam menjalankan pemerintahan. “Saya mulai melihat, izin itu kan salah satu perbuatan hukum, lalu bagaimana kita menggunakan teknologi ini untuk menginventarisir perizinan-perizinan ini, sehingga bisa meningkatkan tata kelola perizinan yang baik,” ujar Kosasih.

Ia kemudian melanjutkan perjalanan karirnya di sektor publik dengan menjadi Staf Khusus untuk Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Di BKPM, ia juga terlibat dengan sistem perizinan elektronik, kali ini bernama Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE).

Ia lagi-lagi melihat bagaimana pemerintah mengembangkan suatu sistem. Juga bagaimana pemerintah tetap menerapkan prinsip-prinsip keamanan, prinsip-prinsip pelindungan data, dan prinsip-prinsip keterbukaan informasi dalam pengembangan sistemnya.

Kosasih mengaku, itu menjadi awal ketertarikan dirinya dengan kaitan antara hukum dan teknologi, “Disitu mulai awal ketertarikan saya dengan kaitan antara hukum dan teknologi, tapi (memang) awalnya lebih fokus ke e-government.”

Selepas menyelesaikan tugas sebagai staf khusus, ia menjalani studi S2 di Universitas Leiden, dengan program studi Advanced Master in Law and Digital Technologies atau hukum dan teknologi digital. Yang membuatnya tertarik jauh-jauh ke negeri kincir angin, awalnya adalah untuk mendalami digital government.

Ia menuturkan, “Dibandingkan dengan program master lainnya di universitas lain, yang memiliki jurusan hukum dan teknologi, Leiden bisa dibilang satu-satunya yang memiliki mata kuliah digital government. Jadi, kalau jurusan master di universitas lain, rata-rata antara mereka lebih fokus dari segi ekonominya, atau dari segi privatnya. Tapi kalau di Leiden ini, mereka fokus di public sector juga.”

Dia berpandangan, jika dirinya mendalami isu hukum dan teknologi ini di Belanda, walaupun tidak hanya berdasarkan hukum Belanda, namun juga melihat hukum internasional lainnya, akan tetap relevan dengan hukum Indonesia.

“(Negara) yang lainnya itu cuma 1 atau 2 mahasiswa per negara, tapi Indonesia ada 4. Jadi menurut saya, Indonesia harus bisa catch-up dengan isu-isu hukum dan teknologi, khususnya data pribadi, karena sebetulnya banyak kok orang-orang Indonesia yang tertarik dengan hukum dan teknologi,” papar Kosasih.

Menurutnya, dalam hal pengetahuan di bidang hukum dan teknologi, tak ada perbedaan mencolok antara mahasiswa-mahasiswa di jurusan itu. Karena waktu itu, isunya juga belum terlalu berkembang, jadi masing-masing mahasiswa masih sama-sama mencoba mendalami isu itu, dan bisa dibilang belum ada yang benar-benar sudah merasa lebih advanced.

Namun, mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari negara Eropa, sudah cukup familiar dengan peraturan yang menjadi hot topic kala itu, yakni General Data Protection Regulation (GDPR) milik Uni Eropa. “Jadi, karena mereka orang Eropa dan mereka sudah cukup familiar dengan peraturan-peraturan di Eropa, mungkin itu bisa cukup membantu mereka. Tapi buat kita yang dari negara-negara Asia, kita sekarang baru melihat, wah apa ini GDPR, yang ternyata jadi golden standard yang baru bagi pelindungan data di dunia. Jadi itu mungkin perbedaannya.”

Ia mengenang, isu pelindungan data pribadi menjadi salah satu hal yang paling berkesan yang dipelajarinya di sana. Karena, ketika dirinya belajar isu itu di Belanda, isu itu belum terlalu banyak dibahas di Indonesia. Sementara, di Eropa, masyarakatnya sudah sangat perhatian dengan isu pelindungan data pribadi ini.

Di Belanda, ia juga semakin menyadari bahwa secara perilaku, orang Asia lebih cenderung ke arah overshare dan penggunaan sosial medianya cukup aktif. Sementara, masyarakat Eropa, cenderung sangat berhati-hati dalam mem-posting sesuatu di sosial media, khususnya jika yang mereka hendak bagikan itu memuat data-data pribadi milik orang lain.

“Tapi kalau di kita mungkin kan, secara berita, kita pengennya berita itu cepat tersebar, jadi mungkin ada beberapa data pribadi yang tersebar secara tidak sengaja. Itu menurut saya, kondisinya ternyata kita masih jauh ya, untuk bisa catch up dengan isu pelindungan data. Jadi disitu buat saya, wah berarti PR (pekerjaan rumah) kita masih banyak juga nih. Itu kenapa juga, saya setelah itu banyak fokus ke isu pelindungan data pribadi.”

Lanjut Berkarir di Start-up Decacorn Ternama

Membawa ketertarikannya dalam bidang hukum dan teknologi digital ke langkah selanjutnya, kini ia menjabat sebagai in-house counsel di sebuah perusahaan start-up decacorn. Ketika ditanya mengenai, bagaimana tantangan sebagai in-house counsel, menyeimbangkan antara hukum yang cenderung kaku dan stagnan, dengan perkembangan teknologi yang sedemikian cepat, ia juga menilai pentingnya untuk berkoordinasi, dengan instansi pemerintah terkait, serta tim internal perusahaan itu sendiri.

Katanya, sebelum memberikan advice ke tim internal, ia dan timnya mencari tahu lebih dulu peraturan-peraturannya seperti apa, apa yang diperbolehkan, dan apa yang tidak. Kemudian, jika ada aturan yang belum diatur secara jelas di peraturan. Ia dan timnya akan mencoba berdiskusi dengan institusi pemerintahan untuk mendapatkan masukan.

Mengenai bagaimana aturan hukum tersebut harus diinterpretasikan untuk perkembangan teknologi tertentu. Baru setelah itu, ia dan timnya akan memberikan saran ke tim internal perusahaan. Diskusi dengan pemerintah ini dilakukannya melalui help-desk, juga melalui forum-forum. “Ada help desk di pemerintah untuk kita bisa berdiskusi dengan mereka, atau kalau tidak, kita berdiskusi lewat forum-forum seperti webinar,” ujar Kosasih.

Bekerja di sebuah perusahaan berbasis teknologi, tentunya banyak bersinggungan dengan rekan-rekan berlatar belakang information technology (IT). Karenanya, menurutnya sangat penting baginya sebagai orang yang berlatar belakang hukum, untuk memahami bahasa-bahasa teknis, agar bisa berkomunikasi dengan baik dengan tim-tim teknis atau engineer-engineer tersebut.

Kosasih mengatakan, “Kita yang orang hukum, terutama yang fokus di hukum dan teknologi, kita juga harus update, harus paham, dengan istilah-istilah teknologi juga. Jadi ketika mereka berbicara bahasa yang teknis, kita juga bisa paham maksud mereka itu apa.”

Tidak hanya mempelajari hal-hal di luar bidangnya, orang dengan latar belakang hukum, menurutnya juga perlu luwes dalam menjelaskan suatu aturan hukum, khususnya kepada orang-orang awam hukum.

“Tentunya kita walaupun orang hukum, tapi kita juga tidak bisa kaku dengan hanya menggunakan bahasa hukum. Karena kadang bahasa hukum tidak mudah dimengerti oleh semua orang, khususnya yang tidak berlatar belakang hukum. Jadi, ketika menjelaskan atau berkomunikasi dengan internal tim lainnya, kita juga bisa menggunakan bahasa yang lebih sehari-sehari atau bahasa yang lebih mudah dicerna,” ujar Kosasih.

Selain itu itu, Kosasih juga berperan sebagai Group Data Protection Officer (DPO) di perusahaannya, Kosasih memaparkan sejumlah tantangan yang ia hadapi, dengan belum adanya aturan komprehensif setingkat undang-undang, terkait pelindungan data pribadi di Indonesia.

Tantangan pertama, adalah harus mengacu pada ketentuan-ketentuan yang tersebar di beberapa peraturan, sebab peraturan yang terharmonisasi, yakni Rancangan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (RUU PDP) sekarang ini masih dalam tahap pembahasan.

Tantangan kedua, sekarang ini ia masih banyak mengacu pada standar internasional, karena di Indonesia belum ada peraturan mengenai DPO yang bisa dijadikan acuan resmi.

Ia juga memaparkan, bahwa terdapat peluang cukup besar untuk sarjana hukum berkarir sebagai DPO nantinya. Mengingat, kualifikasi DPO yang disebutkan pada RUU PDP, adalah memiliki pengetahuan hukum dan mengetahui praktik pelindungan data pribadi.

Namun, itu tak berarti, kesempatan ini hanya terbuka bagi sarjana hukum. Dengan frasa “memiliki pengetahuan hukum,” baginya ini berarti kesempatan berkarir sebagai DPO terbuka untuk siapapun yang memiliki pengetahuan hukum dan tidak harus sarjana hukum.

“Jadi ini artinya, memang terbuka bagi sarjana hukum dan sarjana-sarjana lainnya. Tapi, karena biasanya yang memiliki pengetahuan hukum itu adalah sarjana hukum, tentunya peluang bagi sarjana hukum lebih besar. Karena kan ini berhubungan juga, dengan bagaimana kita memastikan kepatuhan dari perusahaan tersebut, dengan peraturan perundang-undangan (di bidang) pelindungan data pribadi, yang biasanya itu dilakukan oleh orang-orang yang memiliki latar belakang hukum,” papar Kosasih.

Mendirikan APPDI

Berkiprah di bidang pelindungan data pribadi, juga menghadapi tantangan-tantangan dan keresahan-keresahan yang menyertainya, Kosasih terdorong untuk membentuk sebuah organisasi sebagai wadah untuk praktisi-praktisi pelindungan data bertemu, berdiskusi, dan berbagi ilmu.

Hingga, tercetus APPDI (Asosiasi Praktisi Pelindungan Data Indonesia) yang secara resmi berdiri pada 17 Juli 2020. Dilansir dari website APPDI, organisasi ini didirikan untuk para DPO dan praktisi yang berkecimpung di bidang perlindungan data pribadi di Indonesia, untuk saling berbagi keilmuan dan pengalaman, sehingga nantinya diharapkan dapat meningkatkan kompetensi DPO dan praktisi yang berpraktik di wilayah Indonesia. Selain itu, APPDI juga diharapkan dapat menjadi penghubung antara para pemangku kepentingan terkait perlindungan data di Indonesia.

Saat ini, Kosasih tengah menjabat sebagai Ketua APPDI. Ia membagikan cerita asal mula berdirinya asosiasi ini, “APPDI ini muncul ketika waktu itu, ada beberapa rekan-rekan yang memiliki fokus di isu pelindungan data, kami memiliki keprihatinan yang sama, atau kami merasa sering berdiskusi mengenai isu-isu pelindungan data ini. Alangkah baiknya, kalau kita bisa menformalisasi untuk membuat suatu wadah bagi orang-orang yang memiliki fokus di isu ini. Juga sambil berbagi ilmu dengan yang lainnya, ilmu seputar isu pelindungan data pribadi.”

Meski secara resmi berdiri pada tahun 2020, diskusi mengenai APPDI ini sebenarnya sudah dimulai jauh sebelum itu. “Diskusinya sudah mulai dari sekitar tahun 2018 dan tahun 2019. Jadi memang butuh cukup waktu, karena waktu itu juga di tengah-tengah pandemi, jadinya ketika kita mau menformalisasi wadah ini, memang cukup challenging untuk beberapa teman-teman yang memang waktu itu sebagai pendirinya. Tapi akhirnya di pertengahan 2020, kita berhasil menformalisasi APPDI sebagai asosiasi praktisi pelindungan data yang berbentuk perkumpulan,” papar Kosasih.

Pentingnya Work-Life Balance

Tak hanya tekun menjalani karirnya, ia juga hobi bersepeda. “Mungkin ini muncul hobinya waktu mulai di Belanda itu, karena di Belanda kan orang-orang rata-rata pakai sepeda, jadi mulai di Belanda, oh senang juga naik sepeda, waktu balik ke Indonesia juga sepeda lagi ‘in’, jadi gabung dengan beberapa teman-teman komunitas lainnya, jadi suka sepeda.”

Selain bersepeda, ia juga senang memelihara ikan mas koki. Menurutnya penting untuk menerapkan work-life balance. Kosasih bercerita, sejak kecil dirinya sudah suka segala macam binatang, khususnya ikan mas koki ini. “Terutama di masa pandemi ini, jadi supaya kita bisa relaks, kalau lagi suntuk, melihat binatang peliharaan, main sama mereka, itu bisa buat refreshing juga. Ya balancing, antara personal life dan working life juga.”

Harapannya untuk Masa Depan

Ketika ditanya soal harapannya untuk masa depan, ia menjawab, “Karena kita masih di masa pandemi juga, harapan yang pertama, supaya semua bisa sehat-sehat, termasuk dengan rekan-rekan semua, rekan kerja, teman-teman main, dan terutama keluarga. Buat saya itu mungkin harapan yang paling sederhana, tapi itu sangat berarti tentunya buat kita semua di masa pandemi.”

Sementara, terkait isu pelindungan data pribadi, juga APPDI, ia berharap, agar kedepannya isu pelindungan data pribadi ini dapat menjadi sorotan banyak pihak. Sebab, ini menyangkut hak atas privasi, yang merupakan salah satu hak-hak dasar manusia. Ia juga berharap, adanya keseriusan untuk segera mengeluarkan peraturan mengenai hal ini, agar segera memberikan kepastian hukum, bagi masyarakat Indonesia.

AAB

Dipromosikan