Ramai Praktik Upselling J.CO, Bolehkah Secara Hukum?

Ramai Praktik Upselling J.CO, Bolehkah Secara Hukum?
Image Source: suaraterkini.com

Ramai Praktik Upselling J.CO, Bolehkah Secara Hukum

“Konsumen memiliki hak untuk memilih produk atau jasa sesuai dengan kebutuhan dan preferensinya, sesuai dengan hak-hak konsumen yang tertuang dalam Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen.”

Baru-baru ini media sosial diramaikan dengan curhatan seorang warganet yang mengeluhkan adanya praktik upselling di salah satu outlet J.CO.

Seorang pengguna TikTok dengan nama Aulia Zeins mengungkapkan bahwa pegawai J.CO diduga tidak jujur karena melakukan praktik upselling tanpa persetujuan dari dirinya.

Adapun, mengutip dari inmarketing.id, upselling merupakan salah satu strategi penjualan yang mendorong pelanggan untuk melakukan pembelian tambahan dengan harga yang lebih mahal dan kualitas produk yang lebih bagus. Tujuannya yaitu membuat pelanggan membeli lebih dari yang semula mereka inginkan dengan penawaran menarik yang diberikan oleh perusahaan.

Dalam curhatannya yang ditulis dalam video TikTok sebagaimana dikutip dari Suara.com (21/5/2023), Aulia menyebutkan bahwa ia awalnya berniat membeli satu lusin donat ukuran besar dengan harga yang seharusnya tidak melebihi Rp100 ribu. 

Namun, pegawai J.CO yang melayaninya menawarkan paket donat dengan tambahan bonus tanpa persetujuan dari Aulia. Meskipun Aulia mengaku tidak benar-benar rugi karena mendapatkan tambahan kue, ia merasa tidak senang dengan cara pegawai J.CO yang membuatnya merasa terpaksa membeli lebih tanpa pengetahuannya. 

Curhatan Aulia segera viral di media sosial dan ditonton oleh lebih dari 3,4 juta orang dalam satu hari. J.CO kemudian menghubungi Aulia melalui pesan langsung di Instagram untuk klarifikasi, namun Aulia menolak karena merasa tidak mengalami kerugian materi.

YLKI: Konsumen Berhak Memilih Barang yang Akan Dibeli

Dugaan praktik upselling yang dilakukan oleh pegawai J.CO menjadi viral di media sosial setelah banyak warganet berbagi pengalaman serupa yang mereka alami.

Menanggapi hal tersebut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), mengimbau pelaku usaha agar mematuhi ketentuan dalam undang-undang perlindungan konsumen, khususnya dalam memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur kepada konsumen saat menjual produk atau jasa.

Dikutip dari Kompas.com (22/5/2023), Kepala Bidang Pengaduan dan Hukum YLKI, Rio Priambodo, menyayangkan adanya tindakan penjualan yang tidak jujur dan transparan tersebut.

Menurut Rio, pelaku usaha harus mendapatkan persetujuan dari konsumen dan tidak boleh menggunakan paksaan dalam menawarkan produk.

“Karena konsumen berhak memilih suatu produk yang akan dibelinya,” tutur Rio. YLKI juga menyarankan konsumen untuk aktif bertanya tentang produk yang akan dibeli dan melakukan komplain jika ada kerugian yang dialami

Selain itu, YLKI menekankan pentingnya pengawasan dari pemerintah terhadap perilaku pelaku usaha dalam melakukan promosi produk yang berpotensi merugikan konsumen.

Strategi Penjualan yang Dilarang dalam UU Perlindungan Konsumen

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen) pada pokoknya mengatur hak-hak dan kewajiban konsumen serta kewajiban pelaku usaha dalam melindungi kepentingan konsumen.

Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen, terdapat beberapa strategi penjualan yang dilarang karena dapat merugikan konsumen. Beberapa strategi penjualan yang dilarang oleh undang-undang tersebut antara lain:

  1. Penjualan paksa: Pelaku usaha dilarang menggunakan paksaan, intimidasi, atau tekanan yang tidak wajar terhadap konsumen untuk membeli produk atau jasa tertentu.
  2. Penipuan: UU Perlindungan Konsumen melarang praktik penipuan, termasuk memberikan informasi palsu, menyesatkan, atau menipu konsumen mengenai kualitas, harga, manfaat, atau karakteristik produk atau jasa.
  3. Iklan palsu: Pelaku usaha tidak diperbolehkan membuat iklan palsu atau menyesatkan yang dapat menipu konsumen dalam membeli produk atau jasa. Iklan harus memberikan informasi yang akurat dan jelas mengenai produk atau jasa yang ditawarkan.
  4. Penjualan barang cacat atau tidak layak: Pelaku usaha tidak boleh menjual barang yang cacat, rusak, atau tidak sesuai dengan standar yang dijanjikan kepada konsumen. Barang yang dijual harus memenuhi standar kualitas yang telah ditetapkan.
  5. Praktik bisnis yang tidak adil: UU Perlindungan Konsumen juga melarang praktik bisnis yang tidak adil, seperti memanfaatkan situasi kelemahan atau ketidakpahaman konsumen untuk mendapatkan keuntungan yang tidak wajar.

Praktik Upselling sebagai Strategi Penjualan

Sebagaimana disebutkan oleh YLKI, konsumen memiliki hak untuk memilih produk atau jasa sesuai dengan kebutuhan dan preferensinya, sesuai dengan hak-hak konsumen yang tertuang dalam Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen. 

Selain itu, Pasal 15 UU Perlindungan Konsumen juga melarang pelaku usaha menggunakan paksaan atau tindakan yang dapat menyebabkan gangguan fisik atau psikis terhadap konsumen dalam menawarkan barang atau jasa. Dengan demikian, pelaku usaha dilarang menggunakan paksaan atau tekanan dalam strategi penjualan mereka.

Adapun, sebagai suatu strategi penjualan, praktik upselling diperbolehkan dan tidak dilarang secara eksplisit dalam UU Perlindungan Konsumen. 

Namun, apabila praktik tersebut dilakukan dengan cara yang dilarang oleh undang-undang, yakni dengan paksaan ataupun dengan pemberian informasi yang tidak jujur, maka praktik upselling dengan pemaksaan tersebut dapat diduga melanggar ketentuan dan menyalahi prinsip perlindungan konsumen.

 

SS

Dipromosikan