Seorang Dosen Menguji UU Perlindungan Saksi Dan Korban, Begini Penjelasannya!

Seorang Dosen Menguji UU Perlindungan Saksi Dan Korban, Begini Penjelasannya!
Image Source by siplawfirm.id

Seorang Dosen Menguji UU Perlindungan Saksi Dan Korban, Begini Penjelasannya!

Sejatinya, yang menjadi pokok persoalan dalam judicial review terhadap UU No.31/2014 adalah ketiadaan perlindungan hukum bagi ahli yang memberikan keterangan dalam persidangan perkara pidana”.

Dikutip dari laman mkri.id (21/11/2022), Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja menggelar sidang perdana pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU No.31/2014) terhadap UUD NRI 1945. 

Permohonan judicial review tersebut diajukan oleh Muh. Ibnu Hajar Rahim selaku dosen pada Universitas Presiden yang juga merupakan pakar hukum pidana. 

Dalam permohonan judicial review bernomor 109/PUU-XX/2022 tersebut, pemohon mendalilkan bahwa Pasal 10 ayat (1) UU PSK dan Penjelasannya, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI 1945.

“Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan itikad baik”, sebagaimana bunyi dari Pasal 10 Ayat (1) UU No.31/2014 adalah sebagai berikut:

Adapun penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU No.31/2014  berbunyi, “Yang dimaksud dengan memberikan kesaksian tidak dengan itikad baik antara lain memberikan keterangan palsu, sumpah palsu, dan permufakatan jahat.”

Menurut Ibnu, Pasal 10 UU No.31/2014 tidak pasti, tidak adil, dan diskriminatif karena Pasal tersebut hanya memberikan perlindungan hukum (dalam hal ini untuk tidak dapat dituntut secara hukum baik secara pidana maupun perdata) kepada saksi, korban, saksi pelaku dan/atau pelapor yang memberikan kesaksian atau laporan.

Menurutnya, Pasal 10 UU No.31/2014 tidak memberikan perlindungan hukum kepada seorang ahli yang memberikan keterangan dalam perkara pidana.

Lebih lanjut, Menurut Ibnu sewaktu-waktu seorang ahli dapat saja dituntut atas keterangan sebagai ahli pada tingkat penyidikan.

“Seharusnya setiap orang memahami keterangan ahli memiliki kedudukan sebagai alat bukti yang sama dengan alat bukti lainnya. Hakim sama sekali tidak terikat dengan keterangan yang diberikan oleh ahli. Namun dalam berbagai gugatan perbuatan melawan hukum yang ditunjukkan pada para ahli memiliki berbagai implikasi. Seharusnya seorang ahli yang memberikan keterangan itu dihormati, diapresiasi, dan dilindungi. Karena ia telah mampu membantu penegak hukum dalam membuat terang suatu perkara sesuai keahliannya. Jadi dalam UU ini tidak ada jaminan bagi ahli yang memberikan keterangan saat bersidang dalam perkara tindak pidana” Pungkas Ibnu.

 

RAR

Dipromosikan