Setelah Setahun Penandatanganan, Ratifikasi RCEP Terus Ditagih. Apa Urgensinya?

Setelah Setahun Penandatanganan, Ratifikasi RCEP Terus Ditagih. Apa Urgensinya
Image Source by dw.com

Setelah Setahun Penandatanganan, Ratifikasi RCEP Terus Ditagih. Apa Urgensinya?

Keterlambatan ratifikasi dinilai dapat menimbulkan hilangnya  momentum pangsa ekspor bagi Indonesia. Bahkan berpotensi mengalami penurunan investasi sekitar Rp 5,23 triliun di tahun 2040.

Regional Comprehensive Economic Partnership atau (RCEP) merupakan pakta perdagangan yang diusulkan oleh ASEAN untuk meningkatkan perdagangan diantara negara-negara anggota dan mitra perjanjian perdagangan bebas (FTA). 

RCEP bertujuan untuk mengurangi hambatan perdagangan dan mendorong investasi di negara-negara berkembang.

RCEP ini awalnya diinisiasi oleh Indonesia pada tahun 2011. Pembahasan pun telah dilakukan sejak tahun 2012, namun baru resmi ditandatangani pada tahun November 2020 lalu oleh 10 negara ASEAN ditambah Australia, Selandia Baru, China, Korea Selatan, dan Jepang.

Setelah setahun ditandatangani, nyatanya Indonesia masih belum menyelesaikan ratifikasi atas RCEP. Padahal, RCEP akan diberlakukan mulai 1 Januari 2022 mendatang.

Dalam rapat dengan Komisi VI DPR (13/12), Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi, menyatakan bahwa saat ini telah terdapat 12 anggota RCEP yang telah menyelesaikan proses ratifikasi. Maka dari itu entry into force dilakukan pada 1 Januari 2022.

Tiga negara yang belum menyelesaikan ratifikasi hanyalah Filipina, Malaysia, dan Indonesia. Adapun Filipina dan Malaysia menyatakan bahwa ratifikasi akan diselesaikan pada Desember 2021.

Ratifikasi RCEP ini terus ditagih oleh berbagai pihak, mulai dari pemerintah hingga pelaku usaha. Hal ini dikarenakan RCEP dianggap dapat memberikan dampak besar terhadap perkembangan ekonomi dan investasi asing di Indonesia.

Melalui RCEP, Indonesia diperkirakan dapat meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar 4,6 miliar hingga 5,2 milliar euro pada tahun 2032. 

Nantinya Indonesia dapat melakukan ekspor 10 ribu produk lokal ke negara-negara yang menyepakati RCEP tanpa dikenakan bea masuk. Investasi pun diperkirakan akan meningkat sebesar 0,13 persen atau Rp24,53 triliun pada tahun 2040.

Dengan demikian, apabila tidak dapat menyelesaikan ratifikasi, Indonesia diperkirakan akan mengalami penurunan investasi sekitar 0,03 persen atau mencapai Rp 5,23 triliun di tahun 2040.

Koordinator Wakil Ketua Umum III Kadin, Shinta W. turut menyatakan hal serupa. Menurut Shinta, apabila ratifikasi tidak segera diselesaikan maka Indonesia tidak bisa menerima manfaat dari negara peserta lainnya.

Selain itu, Shinta turut menjelaskan keterlambatan ratifikasi dapat menimbulkan konsekuensi Indonesia kehilangan momentum pangsa ekspor.

“Pangsa pasar di negara mitra yang seharusnya bisa Indonesia manfaatkan untuk ekspor justru direbut oleh kompetitor sehingga jauh lebih sulit bagi Indonesia nantinya untuk menggenjot dan mengambil alih pangsa pasar ekspor di negara tujuan,” ujar Shinta.

Kementerian Perdagangan sendiri turut meminta DPR RI untuk menyelesaikan ratifikasi sebelum pergantian tahun. Jika tidak, maka Indonesia akan menjadi satu-satunya negara peserta yang belum merampungkan ratifikasi. Padahal Indonesia merupakan inisiator dari RCEP.

“Pemerintah berharap agar persetujuan RCEP bisa melalui pengesahan undang-undang dengan sistem yang cepat sehingga dapat diimplementasikan pada awal tahun depan,” ujar Lutfi.

Lutfi juga menyebutkan bahwa pengesahan RCEP menjadi undang-undang ini penting agar selanjutnya pemerintah dapat menerbitkan aturan turunan dalam bentuk peraturan presiden dan penjelasan RCEP yang merupakan syarat penyelesaian ratifikasi.

Sebagai informasi, per tanggal 13 Desember 2021 RUU ratifikasi RCEP ini masih belum mencapai kesepakatan untuk dibawa ke pembahasan sidang tingkat pertama. Padahal, masa sidang DPR RI untuk 2021 akan berakhir pada 16 Desember 2021 dan lembaga legislatif akan memasuki masa reses hingga 7 Januari 2022.

 

PNW

Dipromosikan