Siaga Resesi Global, Pahami Tujuan Dialog Bipartit Sebelum Lakukan PHK

Siaga Resesi Global, Pahami Tujuan Dialog Bipartit Sebelum Lakukan PHK

Siaga Resesi Global, Pahami Tujuan Dialog Bipartit Sebelum Lakukan PHK

“Pasal 3 UU No. 20/2004 mengatur bahwa dalam hal terjadi perselisihan hubungan industrial, maka wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah.”

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Jemmy Kartiwa beberapa waktu lalu menyampaikan bahwa saat ini terdapat penurunan pangsa pasar pemesanan tekstil dan produk tekstil sebesar 30 persen. Akibatnya, hingga Januari sampai dengan pertengahan Oktober 2022, tercatat telah terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada lebih dari 73 ribu karyawan pada industri ini.

Adapun angka ini diprediksi akan terus meningkat hingga tahun depan. Dengan demikian, menurut Jeremy jalur PHK haruslah ditempuh untuk menjaga kontinuitas jalannya usaha.

Menanggapi hal ini, Kementerian Ketenagakerjaan berharap para pengusaha dapat melakukan dialog bipartit sebelum mengambil jalan akhir soal PHK yang saat ini ramai terjadi.

Sekretaris Jenderal Kemenaker Anwar Sanusi menyampaikan pihaknya melalui Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan agar perusahaan melakukan mediasi terlebih dahulu sebelum melakukan pengambilan keputusan PHK.

“PHK itu merupakan jalan akhir. Kemenaker melalui Ditjen PHI kita melakukan mediasi. Mudah-mudahan jalan terakhir tersebut tidak ditempuh. Ada dialog bipartit,” ujar Anwar di JCC, Jakarta, dikutip Bisnis, Minggu (30/10/2022).

Lantas, apa itu dialog bipartit?

Perundingan bipartit adalah perundingan antara karyawan/buruh atau serikat karyawan/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Ketentuan mengenai pelaksanaan perundingan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU No. 20/2004).

Pasal 3 UU No. 20/2004 mengatur bahwa dalam hal terjadi perselisihan hubungan industrial, maka wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat dan diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.

Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal. Perundingan harus dibuat dalam bentuk risalah yang harus ditandatangani oleh kedua belah pihak. Risalah perundingan bipartit sekurang-kurangnya memuat, sebagai berikut:

  1. Nama lengkap dan alamat para pihak; 
  2. Tanggal dan tempat perundingan; 
  3. Pokok masalah atau alasan perselisihan; 
  4. Pendapat para pihak; 
  5. Kesimpulan atau hasil perundingan; dan 
  6. Tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan.

Dalam hal musyawarah dalam perundingan bipartit dapat mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak. Perjanjian Bersama mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak.

Perjanjian Bersama tersebut wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama. Perjanjian Bersama yang telah didaftar, diberikan akta bukti pendaftaran Perjanjian Bersama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama.

Apabila Perjanjian Bersama tersebut di atas tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama di daftar untuk mendapat penetapan eksekusi.

Tujuan bipartit

Adapun tujuan dari pelaksanaan perundingan bipartit tidak lain adalah untuk menjunjung tinggi adanya musyawarah terlebih dahulu sebelum adanya PHK. Dikutip dari tulisan Muhammad Hanafi yang berjudul “Kedudukan Musyawarah dan Demokrasi di Indonesia” dalam Jurnal Cita Hukum menuturkan bahwa esensi musyawarah menunjukkan realitas persamaan kedudukan dan derajat manusia, kebebasan berpendapat dan hak kritik serta pengakuan terhadap kemanusiaan itu sendiri.

Melalui musyawarah ditemukan cara untuk mempersatukan manusia, mempersatukan golongan-golongan dengan berbagai atribut di tengah- tengah bergejolaknya problema-problema umum, dan dengan musyawarah pula dikembangkan tukar pikiran dan pendapat. Dengan kata lain, perundingan bipartit ini dinilai pada akhirnya dapat mengakomodir kepentingan baik dari pengusaha maupun buruhnya yang mana akan berdampak baik terhadap kedua belah pihak.

 

AA

Dipromosikan