Sistem Voluntary Produk Halal Berpotensi Merugikan Konsumen

Sistem yang bersifat mandatory atau wajib baru akan berlaku pada 2019.

Direktur LPPOM MU Lukmanul Hakim. Sumber Foto: www.eramuslim.com

Direktur Lembaga Pengkajian Pangan dan Obat Obatan dan Kosmetik (LPPOM MU) Lukmanul Hakim mengatakan saat ini permohonan sertifikat halal sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) masih berdasarkan skema yang bersifat sukarela (voluntary), yakni produk itu boleh bersertifikat halal atau tidak bersertifikat halal. Ia menilai skema itu berpotensi merugikan bagi konsumen.

“Makanya kelihatan sekali voluntary ini banyak yang dirugikan yaitu konsumen kan. Karena kan produksi sudah banyak yang beredar, sudah di tengah masyarakat kan,” kata Lukman kepada Klik Legal, Selasa (20/6). (Baca Juga: Terkait Sertifikasi Halal, DPR Menyiapkan Anggaran Rp350 Miliar Untuk Kemenag).

Lukman menilai karena sifatnya sukarela ini sehingga ada beberapa produk impor yang sebenarnya tidak halal, namun tidak menunjukkan ketidakhalalannya. “Nah di dalam izin itu barangkali mungkin ada yang terjadi, entah seperti apa saya kurang tahu di Badan POM, kemudian ada ML-nya tetapi ketika dilakukan inspeksi lapangan atau sidak ternyata mengandung babi kan begitu. Maka diumumkanlah untuk ditarik karena tidak sesuai dengan apa yang diregistrasikan,” terangnya.

Sebagai informasi, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) menyebutkan bahwa sejumlah mie instan asal Korea terbukti mengandung babi dan tidak mencantumkan peringatan ‘MENGANDUNG BABI’, yakni Mi Instan U-Dong (Samyang), Mi Instan Shim Ramyun Black (Nongshim), Mi Instan Rasa Kimchi (Samyang), dan Mi Instan Yeul Ramen (Ottogi). Badan POM telah memerintahkan importir yang bersangkutan untuk menarik produk dari peredaran. (Baca Juga: UU Produk Halal Belum Bisa Digunakan untuk Kasus Mie Instan Korea yang Mengandung Babi).

Menurut Lukman, bila ada pelaku usaha tidak jujur terhadap apa yang ada dalam kandungan produknya, maka pelaku usaha bisa dikenakan sanksi pidana.

“Kalau dalam konsumen kan berarti menyatakan ada yang tidak sesuai, kalau di dalam uu konsumen kan memang kena delik pidana, karena kan mereka tidak sesuai dengan apa yang telah disampaikan. Misalnya dia mengatakan tidak mengandung babi kan ternyata ada, kira-kira begitu. Saya kira sih bisa saja kena kalau mau,” kata Lukman. (Baca Juga: DPR Mendesak Pemerintah Terbitkan Peraturan Pelaksana UU Jaminan Produk Halal)

Lukman menuturkan nanti pada tahun 2019 semua produk wajib bersertifikat halal. Jika ada produk tanpa sertifikat halal, maka akan dilarang beredar di Indonesia. “Jadi semua produk itu harus melewati proses sertifikasi halal, kalau dia lolos sertifikasi halal maka mencantumkan logo halal, jika dia tidak lolos bersertifikasi halal maka dia harus mencantumkan logo non halal, nah itulah yang mandatory, tapi itukan belum diterapkan,” katanya.

Lebih lanjut, Lukman berharap pemerintah harus bisa lebih maksimal dalam melakukan pengawasan terhadap barang-barang impor. “Nah itulah makanya pengawasan penetapan terhadap produk-produk impor itu harus menjadi suatu beban yang lebih kalau menurut saya karena si produsen itu kan nan jauh di sana, kita juga kurang pemantauan, sementara dia juga bisa saja merubah,” pungkasnya.

Dalam hal ini, Lukman memberikan pesan kepada seluruh masyarakat dan juga para pihak lainnya. Pertama, saran untuk BPOM terus meningkatkan kinerjanya dan mengetatkan juga pada produk-produk impor untuk menyesuaikan dengan peraturan yang berlaku. Kedua, kepada konsumen juga diharapakan teliti sebelum membeli terhadap produk-produk impor terutama yang terkait dengan isu atau informasi halal. Ketiga, kepada produsen impor untuk lebih memahami kondisi di Indonesia yang mayoritas konsumen muslim yang membutuhkan produk yang jelas kehalalannya.

(PHB)

Dipromosikan