Strategi Penggugat Kasus Skema Ponzi Gunakan Pasal 98 KUHAP

Aset 22 Korban Dikembalikan
Image Source by jawapos.com

Strategi Penggugat Kasus Skema Ponzi Gunakan Pasal 98 KUHAP

“Rasamala menuturkan bahwa Pasal 98 KUHAP ini memungkinkan korban untuk menuntut pembagian atas aset yang telah disita oleh JPU kepada Majelis Hakim.”

Pada Rabu, 20 Juli 2022, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang mengabulkan permintaan gugatan ganti kerugian yang diajukan oleh korban Skema Ponzi. Gugatan ini didasari dengan penggunaan Pasal 98 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dimana para korban Skema Ponzi ini dimungkinkan untuk melaksanakan penggabungan atas gugatannya perihal pengajuan ganti kerugian.

Rasamala Aritonang, selaku kuasa hukum dari korban Skema Ponzi, menuturkan bahwa penggunaan Pasal 98 KUHAP ini sejatinya memberikan kemudahan bagi korban dalam meminta ganti kerugian. Hal ini yang kemudian membuat Rasamala menilai penggunaannya dapat lebih menciptakan suatu efektivitas dibanding melalui upaya hukum yang lain.

“Pertimbangan satu-satunya adalah efektivitas dalam mencapai tujuan proses penangan hukum ini. Artinya kalau penanganan hukum ini kita tempuh dalam cara yang lain, kami rasa proyeksi kami tidak akan terlalu efektif,” ujar Partner dari Visi Law Office saat diwawancarai oleh KlikLegal, Senin (25/07/2022).

Sebagai informasi, selain melalui Pasal 98 KUHAP ini, hukum Indonesia mengakomodir upaya ganti rugi untuk korban tindak pidana salah satunya juga melalui gugatan perdata biasa. Upaya ini dapat dilakukan oleh korban sebagai dengan mengajukan gugatan ganti rugi secara perdata kepada pengadilan setelah diputus bersalahnya pelaku (Tergugat) dalam perkara pidananya.

Rasamala menilai bahwa sejatinya memang upaya ganti rugi terhadap korban melalui mekanisme perdata murni ini dapat saja dilakukan. Akan tetapi, terdapat beberapa hal yang menurutnya dapat menyulitkan korban dalam menuntut hak ganti kerugian tersebut apabila pihaknya menggunakan upaya perdata ini.

“Pertama, kita harus ajukan penyitaan secara terpisah. Bagaimana pun tuntutan, gugatan ganti kerugian lewat mekanisme perdata murni tentu perlu jaminan atas aset-aset yang dieksekusi. Persoalannya dalam kasus ini kita belum menemukan aset-aset lain selain aset-aset yang sudah disita oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan sudah masuk kedalam berkas. Karena sita publik sifatnya lebih kuat dari sita perdata,” jelas Rasamala.

Kemudian, Rasamala juga menjelaskan bahwa Pasal 98 KUHAP ini memungkinkan korban untuk menuntut pembagian atas aset yang telah disita oleh JPU kepada Majelis Hakim. Sebab, sebagaimana diketahui terdapat beberapa aset yang disita oleh JPU yang merupakan bagian dari hasil kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa.

“Itu berupa properti, toko, ada sertifikat tanah juga, kemudian ada emas di situ 12 kilo. Ada juga uang sejumlah 60 juta, uang cash. Kira-kira itu aset-aset yang ada di berkas perkara,” ujar Rasamala.

Adapun upaya ganti rugi untuk korban tindak pidana ini sejatinya juga dapat ditempuh melalui permohonan restitusi kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Restitusi merupakan suatu bentuk ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana ataupun pihak ketiga.

Berdasarkan PP 44/2008, permohonan Restitusi ini dapat diajukan sebelum atau setelah pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Namun, Rasamala melihat upaya ini kurang memberikan efektivitas bagi korban Skema Ponzi dalam menuntut haknya. Sebab, korban dinilai tidak akan memiliki ruang untuk membuktikan secara langsung seberapa besar kerugian yang dialami dari tindak pidana ini.

“Keleluasaan untuk mengajukan gugatan dan untuk membuktikan apa yang kita gugat dan kita tuntut itu jauh lebih leluasa dan jauh lebih efektif kami rasa kalau korban sendiri masuk dalam gugatan itu, menyampaikan dalilnya, menyampaikan perhitungannya, kemudian membuktikan semua argumentasinya. Nyatanya itu memang dikabulkan oleh hakim dan dimuat dalam putusan hakim,” ujarnya.

Lebih lanjut, diketahui bahwa Pasal 100 ayat (1) KUHAP mengatur bahwa gugatan penggabungan ganti rugi ini nantinya akan mengikuti perkembangan terhadap putusan pidananya. Apabila terhadap putusan pidananya diajukan banding, maka gugatan penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan tingkat banding. Menanggapi hal ini, Rasamala menjelaskan bahwa pihaknya siap akan segala upaya yang akan dilakukan oleh Terdakwa. Menurutnya, upaya banding yang dilakukan oleh Terdakwa itu adalah hal yang sah untuk dilakukan dan memang merupakan hak dari Terdakwa itu sendiri.

“Kalau dia banding soal penjatuhan pidananya, maka itu kewenangan jaksa untuk mengcounter bandingnya melalui kontra memori banding yang disampaikan oleh penuntut umum. Tetapi, kalau yang dibanding yang dimohonkan banding adalah soal gugatan ganti kerugian yang dikabulkan oleh hakim, maka itu nanti kita siapkan juga kontra memori banding untuk itu. Ngga ada masalah,” tegasnya.

Kendati demikian, Rasamala berharap nantinya apabila atas putusan ini diajukan banding oleh Terdakwa, Majelis Hakim pada Pengadilan Tinggi dapat memiliki persepsi yang sama dalam melindungi korban. Sehingga, langkah hukum ini dapat menjadi suatu preseden kedepannya untuk pemulihan korban dalam kasus-kasus lainnya.

“Harapannya tentu saja ini sebenarnya apa yang kami lakukan itu merintis jalan untuk pemulihan korban supaya ini bisa jadi preseden dan bisa digunakan korban-korban dalam kasus-kasus yang lain. Hakim dalam pengadilan tinggi harapannya punya pemahaman yang sama bahwa ini adalah kepentingan yang besar terhadap para korban. Mestinya, pengadilan dapat memberikan keadilan dengan mengakomodasi kepentingan dari korban,” ujar Rasamala.

 

AA

Dipromosikan