Terkait Kelembagaan Migas, DPR Diminta Untuk Memperjelas Lembaga Pengganti BP Migas

Ada usul dibentuk BUMN Pengelola yang melakukan pengelolaan secara langsung.

Gedung DPR. Sumber Foto: http://www.skyscrapercity.com/

Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia menyusun penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Migas usulan masyarakat sipil. Sebanyak 11 rumusan yang dimasukkan ke dalam RUU ini, salah satunya terkait model kelembagaan hulu migas. (Baca Juga: Sebelas Poin RUU Usulan Koalisi Masyarakat Sipil).

Manager Advokasi dan Jaringan Publish What You Pay (PWYP), Aryanto Nugroho meminta DPR untuk memperjelas lembaga pengganti BP Migas.

“Itu harus dipikirkan ulang. Siapa pengganti BP Migas, berarti nanti kita membicarakan sub-kelembagaan. Siapa penggantinya BP Migas? Setelah BP Migas tidak ada, apakah dikembalikan ke Pertamina? atau bentuk lembaga baru atau seperti apa? Itu kan juga harus dipikirkan,” ujarnya kepada KlikLegal pada Kamis (7/9) di Jakarta.

Menurut Aryanto, pihaknya mengusulkan ada Badan Pengelola yang dimasukan ke dalam RUU itu sebagai model kelembagaan yang melakukan fungsi pengelolaan hulu migas. “Nah kalau di kita, kita menyebutnya yang namanya BUMN Pengelola. Itu tugas pertama adalah dia bisa mengelola langsung. Jadi seperti zaman dahulu. Karena saya dikasih kewenangan untuk mengelola, kewajiban pertama dia harus mengelola wilayah pertambangan,” katanya.

“Nah, kalau dia tidak sanggup, maka dia baru dikontrakkan dengan pihak yang lain. Kalau dulu dia kan harus berkontrak, makanya BP Migas itu dianggap karena tidak bisa mengelola langsung menurut MK akhirnya dibubarkan, sekarang usulan kami Badan Pengelola itu,” tambahnya. (Baca Juga: Perjalanan Panjang Revisi UU Migas).

Aryanto menyarankan pihak manapun yang menjadi BUMN Pengelola harus dapat memastikan sistem tata kelola benar-benar baik, transparan, akuntabel, tidak korupsi, dan lain-lain. “Karena kalau kita lihat, flashback, kenapa muncul Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 katanya dulu pertamina korup dan segala macam, harus dibuat Undang-Undang baru yang memisahkan kewenangan. Nah, begitu sudah ada BP Migas, orang bilang bahwa BP Migas itu sarang korup. Ini kan bukan soal sistemnya ternyata, kan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Aryanto menilai apabila BUMN Pengelola ini adalah lembaga yang baru dibuat, maka dia akan memerlukan anggaran besar dan tidak memiliki pengalaman. Sedangkan bila dikelola ke Pertamina, maka dia harus memperbaiki tata kelolanya terlebih dahulu.

“Kalau badan baru, berarti dia kan harus punya kapasitas untuk ngebor dan segala macam. Tetapi kalau dikasih ke Pertamina, misalkan pertamina berubah nama menjadi BUMN Pengelola. Makanya kuncinya kan ini, tata kelola,” katanya. (Baca Juga: Kiprah UU Migas di Mahkamah Konstitusi).

Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widya Yudha mengatakan bahwa rencananya pemerintah akan memberikan posisi kelembagaan pada Badan Usaha Khusus (BUK) migas. Setelah tahap harmonisasis selesai, baru pihaknya bersama pemerintah akan melakukan pembahasan RUU termasuk efektifitas konsep BUK Migas tersebut.

“Iya, itu kan sudah diserahkan kepada Baleg. Tinggal nanti sewaktu dengan pemerintah baru kita bedah lagi. Apakah BUK Migas itu efektif, apakah bisa sesuai dengan niatan kita untuk mensignifikasi proses. Kalau posisi di Komisi VII sudah selesai,” pungkasnya. (Baca Juga: Harmonisasi RUU Migas di Baleg Sudah Melebihi Batas Waktu yang Dipersyaratkan)

(PHB/LY)

Dipromosikan