TII Dukung Transparansi Beneficial Ownership Sebagai Komitmen Global untuk Melawan Korupsi

Isu Beneficial Ownership bukanlah isu yang kecil.

Sumber Foto: http://www.taxand.nl/

Sebagai negara anggota G20, Indonesia pada 2014 telah menyepakati High Level Principle on Beneficial Ownership and Transparency. Prinsip ini menekankan pentingnya transparansi, ketersediaan informasi Beneficial Ownership (BO) yang akurat dan dapat diakses oleh lembaga yang berwenang. Beneficial Ownership kerap diartikan sebagai pemilik manfaat sebenarnya atas suatu korporasi.

Oleh karena itu, Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Wahyudi Tohari mendukung pembentukan aturan terkait transparansi Beneficial Ownership (BO) sebagai komitmen tinggi global untuk melawan korupsi di Indonesia. (Baca Juga: Perpres Beneficial Ownership Diharapkan Dapat Membantu PPATK untuk Penelusuran Aliran Dana).

Wahyudi menggambarkan transparansi keuangan beneficial owner sebagai isu prioritas tinggi. “Jadi kita tidak bisa katakan bahwa isu BO adalah isu yang kecil. Dampaknya memang besar, tetapi kita juga ingin tahu bagaimana transparansi beneficial ownership yang sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah-pemerintah global. Pada 2014 sebenarnya para pemimpin G20 sudah menandatangai 10 principal mengenai tentang Beneficial ownership,” katanya pada saat diskusi Keterbukaan Beneficial Ownership, di Hotel JS Luwansa Jakarta, pada Kamis (5/10).

Wahyudi menuturkan pihaknya setiap tahun mengumpulkan data korupsi di lapangan. Menurut Corruption Perception Index (CPI), ada beberapa data anomali yang ternyata banyak dari beberapa negara yang disponsori TI nampaknya bersih justru memfasilitasi koruptor-koruptor dari negara lain. (Baca Juga: Korporasi Didorong untuk Melakukan Keterbukaan Beneficial Ownership).

Jadi, terdapat fakta-fakta yang menunjukkan bahwa banyak negara yang tentu memberikan fasilitas untuk koruptor. Bentuk fasilitas yang diberikan kepada koruptor itu seperti mendapat karpet merah untuk satu investasi atau kepemilikan aset di negara-negara suaka pajak (tax haven).

“Bukan hanya itu, beberapa koruptor justru mendapat akses dalam hal kemudahan diplomasi dan lain hal sebagainya. Ada juga kekebalan- kebebalan lain yang dinikmati oleh koruptor-koruptor itu,” ungkap Wahyudi.

Pada tahun 2015, kata Wahyudi, Transparancy International menerbitkan sebuah Panduan Teknis yang secara rinci menjelaskan bagaimana pemerintah dapat memastikan kesesuaiannya dengan masing-masing 10 Prinsip G20 untuk lebih efektif dalam menangani pencucian uang. “Maka kemudian kami di tahun 2015 mengkampanyekan unmask the corrupt yang salah satu isu yang ingin kami angkat ialah mendorong transparansi Beneficial ownership supaya hilang rutinias-rutinitas yang dilakukan oleh koruptor itu tadi,” lanjutnya.

Lebih lanjut, Ia menjelaskan alasan mengapa transparansi BO itu penting karena bahwa banyak kasus yang membutuhkan terhadap data pengelolaan beneficial ownership itu. Dengan data tersebut, dapat dipergunakan ketika dalam rangka lex collection ataupun dalam rangka penegakan hukum di bidang pencucian uang, korupsi dan lain sebagainya.

Wahyudi pun mengungkapkan dampak memfasilitasi Koruptor. Pertama, United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) memperkirakan antara US $ 800 Billion dan US $ Trilion dicuci setiap tahunnya. Kedua, World Bank menemukan politisi korup menggunakan perusahaan rahasia untuk mengaburkan identitas mereka di 70 persen dari 200 kasus korupsi besar yang disurvei. Ketiga, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menemukan uang haram disalurkan melalui perusahaan rahasia bayangan di seperempat dari 400 kasus penyuapan di 41 negara yang ditinjau.

Untuk itu, Wahyudi berharap penegakan transparansi Beneficial Ownership dari aktifitas perekonomian yang dilakukan oleh perusahaan kedepannya dapat memerangi dan memberantas korupsi di Indonesia.

(PHB)

Dipromosikan