Wacana Amandemen Konstitusi, Peluang MPR Kembali Jadi Lembaga Tertinggi Negara?

Wacana Amandemen Konstitusi, Peluang MPR Kembali Jadi Lembaga Tertinggi Negara

Wacana Amandemen Konstitusi, Peluang MPR Kembali Jadi Lembaga Tertinggi Negara?

Saya melihat perubahan UUD dengan isu PPHN ini adalah pintu yang akan membuka ruang berbagai masalah.”

Amandemen kelima Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) tampaknya semakin nyata. Khususnya karena, hal ini disinggung oleh Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo yang biasa disapa Bamsoet, pada pidato pembukaan Sidang Tahunan MPR Tahun 2021, Senin (16/08) lalu.

“Atas tindak lanjut dari rekomendasi MPR Periode 2009-2014 dan Periode 2014-2019, hasil kajian MPR Periode 2019-2024, menyatakan bahwa perlunya Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) yang bersifat filosofis dan arahan dalam pembangunan nasional, untuk memastikan keberlangsungan visi dan misi negara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” ujar Bamsoet.

Nyatanya, konstitusi mengatur kewenangan MPR sebatas mengubah dan menetapkan konstitusi, serta melantik dan memberhentikan presiden dan wakil presiden.

Dapat dilihat, menetapkan PPHN, atau yang pada Orde Baru disebut Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), tidak termasuk kewenangan MPR yang diatur konstitusi.

Oleh karenanya, agar MPR dapat menetapkan PPHN, kewenangan MPR pada konstitusi harus ditambah. Yang tentu menuntut adanya amandemen konstitusi.

Sejumlah Pakar Kurang Setuju

Menanggapi hal ini, sejumlah pakar Hukum Tata Negara ikut berpendapat, diantaranya Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari.

“Saya melihat perubahan UUD dengan isu PPHN ini adalah pintu yang akan membuka ruang berbagai masalah. Tidak mungkin hanya kewenangan MPR ditambah, juga akan dibahas DPR, KY (Komisi Yudisial), KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), lembaga peradilan, kalau langgar PPHN seperti apa,” ujar Feri dalam Forum Diskusi Denpasar 12 dengan tema “Urgensi Amandemen UUD 1945 di Masa Pandemi”, Rabu (01/09).

Ia menuturkan, menurut konsep ketatanegaraan, jika kewenangan MPR ditambah dengan menetapkan PPHN, konsekuensinya adalah seluruh lembaga negara perlu menyesuaikan kebijakannya dengan PPHN yang dibentuk MPR.

Hal itu sama saja lagi-lagi menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, selayaknya pada Orde Baru. Sebab, semua lembaga negara akan bertanggung jawab kepada MPR. Menurutnya, hal itu akan mempersempit ruang demokrasi di Indonesia.

Hal senada diungkapkan, Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid, melalui keterangan tertulis, Minggu (05/09).

Pertama-tama, ia mengingatkan adanya Kesepakatan Dasar yang disusun Panitia Ad Hoc I dalam proses pembahasan amandemen UUD NRI Tahun 1945, ketika amandemen pertama sampai keempat tahun 1999-2002. Adapun, kesepakatan tersebut terdiri dari:

  1. Tidak mengubah Pembukaan UUD NRI Tahun 1945;
  2. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  3. Mempertegas sistem pemerintahan presidensial;
  4. Penjelasan UUD NRI Tahun 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal (batang tubuh); dan
  5. Melakukan perubahan dengan cara adendum.

Oleh karenanya, Fahri berpendapat, pemekaran wewenang MPR ini bertolak belakang dengan dasar itu, khususnya dengan poin penguatan sistem pemerintahan presidensial.

“Jika merujuk dari dasar itu, maka salah satunya adalah konsep penguatan sistem pemerintahan presidensial, dan kondisi objektif saat ini terkait wacana pemekaran atau penambahan kewenangan MPR RI menetapkan PPHN dalam UUD 1945. Maka secara teoritik, tentu akan menganulir, serta mereduksi sistem pemerintahan presidensial itu sendiri,” ujarnya.

Ia menambahkan, bahwa dalam mengamandemen UUD NRI Tahun 1945, MPR harus melakukannya dengan cermat dan hati-hati, serta wajib menggunakan parameter untuk mengukur tingkat urgensinya.

Khususnya jika amandemen menyasar bagian tertentu dari konstitusi yang bersifat melemahkan, seperti penambahan wewenang MPR ini. Sebab secara paradigmatik, keseluruhan struktur konstitusi tentunya akan mengalami pergeseran yang signifikan.

“Hanya” Ubah Dua Pasal

Bambang Soesatyo mengungkapkan dua pasal yang kemungkinan diubah dalam amandemen UUD NRI Tahun 1945 kelima ini.

“Antara lain penambahan satu ayat pada Pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN, serta penambahan ayat pada Pasal 23 yang mengatur kewenangan DPR untuk menolak Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) yang diajukan oleh presiden apabila tidak sesuai dengan PPHN,” ujar Bamsoet, Jumat (20/08).

Perihal bentuknya, Bamsoet berpendapat idealnya PPHN dituangkan dalam Ketetapan MPR (TAP MPR). Kedudukannya setingkat di bawah konstitusi, namun setingkat lebih tinggi dari undang-undang.

Bamsoet menjelaskan, PPHN tak bisa berbentuk undang-undang, karena masih memberikan peluang untuk digugat atau diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

PPHN juga tak akan berbentuk konstitusi, sebab PPHN merupakan produk kebijakan yang bersifat direktif, serta berlaku periodik dan disusun berdasarkan dinamika kehidupan masyarakat. Muatan PPHN juga tak mungkin dirumuskan dalam satu pasal atau satu ayat saja dalam konstitusi.

AAB

Dipromosikan