Wakil Ketua Kadin Jakarta Menilai RUU CSR Tidak Diperlukan

Lebih baik, DPR dan Pemerintah membuat kebijakan yang mendukung investasi.

Wakil Ketua Umum Kadin DKI Jakarta Sarman Simanjorang. Sumber Foto: Youtube.

Wakil Ketua Umum Kadin DKI Jakarta Sarman Simanjorang mengatakan bahwa pihaknya tidak setuju dengan rencana pembuatan Rancangan Undang Undang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (RUU CSR). Ia menilai pemerintah semestinya membuat kebijakan yang memberi daya tarik bagi pengusaha untuk menjalankan usahanya.

Sarman mengatakan RUU CSR tidak perlu dibuat karena selama ini CSR telah diatur ke dalam berbagai peraturan perundang-undangan. “Kan selama ini sudah ada dalam UU PT dan UU Penanaman Modal. Tidak perlu adanya lagi undang-undang mengenai CSR secara khusus,” ujarnya ketika dihubungi KlikLegal melalui sambungan telepon di Jakarta, Rabu (2/8).

Lebih lanjut, Sarman khawatir bila diatur secara khusus, maka sifat CSR akan menjadi wajib, dan bahkan memuat sanksi. “Orang mau nyumbang nanti diancam, ini bagaimana? Jadi, kalau menurut Saya sih, tidak setuju dengan adanya pembahasan RUU CSR itu. Tetapi pemerintah harus menciptakan sesuatu bagaimana perusahaan itu diberikan daya tarik,” tuturnya.

Daya tarik yang dimaksud, di antaranya, seperti stimulus pajak, kemudahaan perizinan, konsensi perpanjangan izin, kemudahaan aturan keringana beriklan dan lain sebagainya. “Itu yang paling penting,” tukasnya. (Baca Juga: Anggota DPR Tegaskan Aturan CSR Sebagai Amanat Konstitusi).

Selain itu, Sarman juga khawatir bila kewajiban CSR akan membuat penanam modal, baik dalam negeri maupun asing, enggan mendirikan pabrik di Indonesia. “Belum beroperasi, belum dapat untung, tapi sudah wajib CSR. Kalau tidak melakukan, diancam. Nanti bagaimana ini urusannya,” katanya.

“Hal ini nantinya kan mempengaruhi iklim investasi. Misalkan seperti ini ada orang yang mau menanamkan modalnya di Indonesia, baru tahun pertama tetapi malah ada undang-undang CSR. Belum dapet untung perusahaannya. Bagaimana nanti selanjutnya,” katanya. (Baca Juga: Ada 7 Subjek Inti dari ISO 26000 yang Dapat Menjadi Rujukan RUU CSR).

Oleh karena itu, Sarman menyarankan supaya pemerintah untuk lebih mempertimbangan akibat dan pengaruh yang akan terjadi di kemudian hari jika aturan ini sudah diundangkan. Tanpa perlu diwajibkan tentunya para pelaku usaha juga akan melakukan tanggung jawabnya kepada sosial dan lingkungan masyarakat.

Sarman menambahkan yang paling penting untuk saat ini dilakukan oleh pemerintah adalah membuat kebijakan yang bersifat stimulus sehingga memiliki daya tarik kesadaran agar perusahaan-perusahaan ini mau melakukan itu, jadi tidak perlu harus ditekan. “Nah, itu yang perlu dilakukan,” tukasnya. (Baca Juga: Indonesia Dinilai Memiliki Terlalu Banyak Regulasi yang Mengatur CSR).

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Deding Ishak menuturkan bahwa RUU CSR ini dibuat untuk memenuhi kebutuhan payung hukum terhadap aturan-aturan CSR di berbagai sektor. Namun, ia mengaku juga memahami masalah-masalah yang dihadapi oleh pengusaha. “Jadi nanti tentu kita juga sangat mengapresiasi, mengharagi dan bisa mendiskusikan dengan pengusaha mengenai masukan dan saran atau pun terkait dnegan pengaturan dan sebagainya,” ujarnya.

“Tetapi semangatnya adalah bagaimana semua pihak, stakeholder di Indonesia tentu harus punya kewajiban,” tukasnya.

Sebagai informasi, RUU CSR ini sebenarnya telah ditetapkan menjadi salah satu prioritas DPR yang akan dibahas pada 2017 ini di Komisi VIII DPR. Namun, Deding mengungkapkan bahwa pembahasan RUU ini ditunda untuk sementara waktu. Saat ini, Komisi VIII akan lebih fokus membahas RUU Haji dan Umroh, serta RUU Pekerja Sosial. Meski begitu, ia menuturkan tidak tertutup kemungkinan untuk menetapkan kembali RUU CSR ini menjadi prioritas pada 2018. (Baca Juga: DPR Menunda Pembahasan RUU CSR).

(PHB/LY)

Dipromosikan