Yudhistira Setiawan; Benefit dan Tantangan Seorang In House Counsel

Dari bisa mengetahui seluruh bisnis proses perusahaan dari awal sampai akhir, hingga harus berhadapan dengan orang-orang perusahaan yang masih awam hukum.

Yudhistira Setiawan. Sumber Foto: http://www.legalbusinessonline.com

In-house lawyers atau penasihat hukum internal perusahaan merupakan salah satu profesi yang kerap diminati oleh para sarjana hukum, terutama yang mengambil konsentrasi hukum bisnis. Lalu, sebenarnya apa yang menarik dari profesi ini dan apa tantangan yang dihadapi oleh mereka yang berkecimpung di bidangnya.

Presiden Indonesian Corporate Counsel Association (ICCA), sebuah asosiasi yang menaungi in-house lawyers di Indonesia, Yudhistira Setiawan berbagi pengalamannya yang telah berkecimpung di dunia in house counsel ini sejak 2009.

“Sejak tahun 2009, waktu itu Saya bergabung di PT Indo Tambang Raya Megah Tbk,” ujarnya kepada KlikLegal, saat memulai pembicaraan seputar karier dan tantangan yang dihadapinya sebagai penasehat internal perusahaan.

Sebelum terjun ke dunia in house counsel, Yudhistira pernah bekerja sebagai rekanan pada kantor hukum Makarim & Taira S pada 2005-2009, sebagai rekanan pada Adnan Buyung Nasution & Partner pada 2001-2005 dan sebagai junior associate di Kusnandar & Co pada 2000-2001.

Pria yang kini menjabat sebagai Senior Legal Counsel PT Vale Indonesia Tbk ini merasa tertarik untuk menjadi seorang in house counsel karena dapat terlibat dalam bisnis perusahaan sejak awal hingga akhir proses. “Karena kalau jadi in house counsel itu kita bisa mengetahui bisnis proses dari sebuah perusahaan, dimana kita sebagai legal itu bisa terlibat sejak awal sampai akhir sebuah proses,” ujarnya melalui sambungan telepon pada Kamis (16/6) lalu.

Yudhistira menceritakan bahwa hal tersebut merupakan salah satu benefit sekaligus tantangan tersendiri ketika menjadi seorang in house counsel. “Itu tantangannya. Kalau selama ini kan kalau di lawyer kan di lawfirm kita cuma diminta advice, diminta legal opinion kalau lagi ada problem atau ada perkara atau ada masalah. Tapi kalau di company itu kita mulai dari awal. Misalkan salah satu perusahaan akan melakukan kegiatan A, itu apa saja yang diperlukan dokumentasi hukumnya, persyaratannya, perijinannya,” jelasnya.

“Kemudian apabila dalam perjalan perlu mengadakan kerja sama dengan pihak lain terus bagaimana perjanjian kerja samanya, lalu dalam pelaksanaannya kita juga harus mengawasi apakah ada hak dan kewajiban yang terlewat oleh kita, resikonya apa dan lain-lain. Itu dari hulu ke hilir kita kawal semua prosesnya. Itu tantangan di in house.” lanjutnya.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan, “Perusahaan masing-masing mempunyai culture sendiri-sendiri. Ada perusahaan yang sudah sangat patuh terhadap peraturan, mereka tidak mau melanggar peraturan sedikitpun. Apapun itu mereka tidak mau, sehingga harus dibuat semuanya sesuai dengan hukum. Ada perusahaan yang jenisnya adalah, Oke kita tahu bahwa ada aturan yang seperti ini tapi kita tidak bisa lakukan, coba deh cari jalan lain yang di luar jalur hukum misalkan. Nah, hal-hal seperti itu tantangannya.”

“Ada kultur yang harus kita jembatani supaya kultur perusahaan ini sejalan dengan hukum yang berlaku, supaya tujuan itu dapat tercapai dengan baik ke depannya, tidak ada yang namanya pelanggaran hukum atau non-complain,” jelasnya.

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Brawijaya ini menjelaskan bahwa menjadi seorang in house counsel itu menarik, karena dapat menyeimbangkan segala macam kebijakan dalam perusahaan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini merupakan salah satu tujuan keberadaan in house counsel. “Kadang-kadang kan bisnis itu tidak selamanya, awalnya tidak memperhatikan bagaimana hukum itu berlaku ataupun itu berjalan. Gunanya in house counsel itu adalah mengembalikan ataupun menjaga supaya bisnis perusahaan itu tetap berada dalam jalur yang benar, jalur hukum, sehingga tujuannya ke depan dapat tercapai tanpa harus melanggar hukum,” jelasnya.

Dari pengalamannya sebagai in house counsel selama bertahun-tahun, Yudhistira mengakui bahwa ada kendala yang dihadapinya. “Kalau kendala pasti ada, kan kalau kita berhadapan ataupun berinteraksi dengan banyak orang dalam organ perusahaan pasti masing-masing berbeda pikiran dan tujuannya,” ujarnya

Salah satu kendala serta hambatan menjadi seorang in house counsel adalah ketika dihadapkan dengan orang-orang yang belum mengetahui betul mengenai hukum serta aturan-aturan terkait. Akan tetapi, ia merasa bahwa memang disitulah peran seorang in house counsel benar-benar dibutuhkan. “Nah, kadang-kadang hambatannya adalah bagaimana kita memberikan pemahaman kepada orang-orang yang belum begitu mengerti tentang hukum. Bagaimana hukum ini berjalan atau bagaimana hukum ini bekerja. Tantangannya itu ataupun kendalanya itu,” jelasnya.

“Kadang-kadang ada bahasa-bahasa yang mungkin tidak dimengerti oleh mereka. Tetapi menjadi tugas kita sebagai in house counsel untuk memberikan edukasi kepada mereka supaya mereka paham bahwa bisnis perusahaan itu mau tidak mau tidak hanya mementingkan bisnis, tidak hanya mementingkan target produksi, tidak mementingkan tujuan saja tetapi harus juga melihat kepada aturan yang berlaku,” tukasnya.

Yudhistira menjelaskan bahwa banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut, diantaranya dengan melakukan pendekatan. “Banyak hal yang dilakukan, baik secara pendekatan personal, pendekatan secara kultural misalkan mohon maaf sama-sama orang Jawa maka kita berbicara dengan bahasa yang sama, kemudian kita juga melakukan pendekatan secara organisasi dimana kita melakukan sosialisasi itu mulai dari level yang paling bawah sampai kemudian level yang paling atas. Kita lakukan sosialisasi terus menerus, kita berikan edukasi,” ungkapnya

Isu Yang Sedang Ramai Diperbincangkan

Yudhistira yang telah berkecimpung lebih dari delapan tahun di dunia in house counsel ditambah lagi sebagai Presiden ICCA membuat dirinya semakin memahami persoalan-persoalan aktual yang sedang dialami oleh para koleganya. Ia menjelaskan bahwa salah satu isu yang tengah ramai diperbincangkan dalam dunia in house counsel adalah mengenai cloud computing serta data protection.

“Sekarang ini yang sedang ramai dibicarakan itu yang lagi menarik adalah mengenai masalah digital transformation. Jadi bagaimana sekarang itu perusahaan-perusahaan itu kan banyak menyimpan data di sistemnya dimana sistem itu terkadang terhubung ke server di Luar Negeri,” ujarnya.

Yudis menceritakan lebih lanjut, “Tapi kan ada ketentuan kalau tidak salah di Indonesia itu dari Kominfo kalau tidak salah sudah mengeluarkan peraturan yang melarang ataupun membatasi adanya penyimpanan data-data itu di dalam server di luar negeri atau di cloud computing. Nah, itu jadi kendala buat beberapa perusahaan multinasional,” ujarnya.

Menurutnya, hal tersebut perlu dibuat aturan yang jelas supaya bisa dipahami oleh pelaku usaha, khususnya multinational company yang ada di Indonesia. “Batasan-batasan mana, dokumen-dokumen ataupun data-data apa yang boleh disimpan di dalam negeri dan mana yang tidak boleh disimpan di luar negeri itu harus jelas sehingga ke depannya tidak terjadi kesimpangsiuran hukum. Ini salah satu contoh isu yang ada,” jelasnya.

“Kalau contoh lain itu, sebenarnya di tiap-tiap perusahaan pasti isunya berbeda-beda. Tetapi yang sekarang menjadi common issue tuh salah satunya itu, mengenai cloud computing dan data protection,” tambahnya.

Yudhistira mengungkapkan bahwa ini dikarenakan belum adanya aturan khusus yang mengatur lebih jauh mengenai hal tersebut.

(LY)

Dipromosikan