Dugaan Indikasi Produk Obat dengan Kandungan Zat Berbahaya, Ini Bentuk Pertanggungjawaban Pidananya

BPOM Percepat Registrasi Obat untuk Pasien Covid-19

Dugaan Indikasi Produk Obat dengan Kandungan Zat Berbahaya, Ini Bentuk Pertanggungjawaban Pidananya

“Hal ini lantas menjadi suatu pengingat bagi masyarakat maupun pelaku usaha/produsen farmasi mengenai pentingnya kepatuhan akan standar keamanan dan keselamatan konsumen.”

Minggu, 23 Oktober 2022 yang lalu, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Lukito dalam suatu konferensi pers mengatakan bahwa dalam waktu dekat akan ada 2 (dua) perusahaan farmasi yang akan diproses secara pidana terkait indikasi kandungan zat berbahaya dalam produk obatnya.

Dikutip BBC, Penny menjelaskan bahwa dalam produk obat tersebut terdapat kandungan etilen glikol (EG) dan dietilon glikol (EDG) dengan konsentrasi yang melebihi baku mutu yang ditentukan sehingga dinilai dapat menyebabkan gagal ginjal akut, sebagaimana fenomena yang terjadi belakangan ini.

“Ada indikasi kandungan EG dan EDG di produknya tidak hanya dalam konsentrasi sebagai kontaminan tetapi sangat-sangat tinggi. Itu tentu saja sangat toksik dan diduga bisa mengakibatkan [gagal] ginjal akut” jelasnya dikutip BBC, Selasa (25/10/2022).

Hal ini lantas menjadi suatu pengingat bagi masyarakat maupun pelaku usaha/produsen farmasi mengenai pentingnya kepatuhan akan standar keamanan dan keselamatan konsumen.

Di Indonesia, regulasi yang mengatur mengenai kewajiban industri farmasi ini tertuang salah satunya dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU No. 36/2009). Obat-obatan dalam UU ini termasuk dalam suatu hal yang dinamakan sebagai “sediaan farmasi”.

Dalam UU ini, dijelaskan bahwa setiap orang yang melakukan penyediaan farmasi harus memastikan bahwa sediaan farmasinya adalah aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu dan terjangkau.

Kemudian, diatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja memproduksi sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu, maka dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar. “Orang” dalam konteks ini sejatinya dapat berupa orang perseorangan selaku personal (natuurlijk persoon) ataupun badan hukum (rechtspersoon).

Pasal 201 UU No. 36/2009 menjelaskan bahwa dalam hal tindak pidana tersebut dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda dari jumlah yang dikenakan. Dengan demikian, korporasi farmasi yang tidak memenuhi ketentuan baku mutu tersebut dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasinya.

Adapun selain terhadap korporasinya, pasal ini juga menjelaskan bahwa selain pidana denda, korporasi dapat pula dijatuhi pidana tambahan berupa: pencabutan izin usaha; dan/atau pencabutan status badan hukum.

 

AA

Dipromosikan