Tok! UU Anti Deforestasi Disahkan, Diskriminasi Komoditas Sawit?

Tok! UU Anti Deforestasi Disahkan, Diskriminasi Komoditas Sawit?
Image Source: vibizmedia.com

Tok! UU Anti Deforestasi Disahkan, Diskriminasi Komoditas Sawit?

“Dalam implementasinya, pelaku usaha skala besar memiliki waktu 18 bulan, sementara pelaku usaha menengah dan kecil diberi waktu 24 bulan untuk mematuhinya. Pengusaha yang melanggar hukum dapat dikenai sanksi hingga 4% dari penjualan tahunan.”

Undang-Undang (UU) Anti-Deforestasi Uni Eropa secara resmi disahkan pada hari Rabu, (19/4/2023) oleh Parlemen Eropa. Naskah regulasi yang disahkan tersebut akan berlaku secara efektif mulai Mei 2023.

EU Deforestation Regulation (EUDR) merupakan komitmen negara-negara Uni Eropa untuk memerangi aksi deforestasi pada setiap produk impor yang masuk ke pasar negaranya.

Akibatnya produk-produk seperti sawit, kopi, kakao, kedelai, dan segala produk turunannya wajib melaksanakan uji tuntas bebas deforestasi terlebih dahulu sebelum masuk ke wilayah Uni Eropa, sebagaimana dilansir Mongabay, (15/12/2022).

Baca Juga: Uni Eropa Terbitkan UU Deforestasi, Ancam Bisnis Sawit RI?

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menolak pengesahan UU ini dan meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk menindak lanjuti terbitnya aturan ini karena dianggap mengancam industri sawit dalam negeri.

Langkah-Langkah yang Diambil Pelaku Industri

Dilansir dari Kompas (26/4/2023), pengesahan UU itu ditanggapi oleh Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (Gappmi), Adhi Lukman sebagai salah satu pelaku industri yang akan terdampak UU tersebut.

Menurut Adhi, pelaku industri saat ini belum siap mengikuti peraturan tersebut, terutama mengenai mekanisme ketertelusuran (traceability) untuk membuktikan bahan baku produk makanan-minuman yang diekspor tidak menyebabkan deforestasi. 

Mengutip dari Kompas, pihaknya telah menyiapkan dua langkah untuk menghadapi pengesahan UU tersebut. Pertama, ia akan mengajukan keberatan karena aturan ini sulit diterapkan negara berkembang. 

“Harapannya, keberatan ini sampai ke WTO (Organisasi Perdagangan Dunia),” ujar Adhi saat dihubungi, Selasa (25/4/2023).

Selanjutnya, pihaknya akan mempelajari dampak dari aturan tersebut dan berupaya menyesuaikan. 

Adhi juga menambahkan, aturan tersebut menuntut pelaku industri makanan-minuman menunjukkan bukti sertifikasi dan verifikasi bahwa produknya tidak berdampak pada deforestasi. Terkait hal ini, pelaku industri membutuhkan kejelasan lembaga resmi yang dapat melakukan verifikasi dan menerbitkan sertifikat yang diakui oleh UE. 

Adhi menilai, EUDR dapat menggerus ekspor produk makanan-minuman ke kawasan Eropa dikarenakan Eropa masuk ke dalam lima besar tujuan ekspor bahan makanan-minuman setengah jadi.

Kebijakan Diskriminatif Terhadap Komoditas Sawit

Meskipun aturan yang ada tidak menargetkan negara tertentu secara spesifik, namun penolakan mulai muncul dari pihak yang merasa terdampak sejak wacana terbitnya diumumkan.

Dilansir dw.com (20/4/2023), Indonesia dan Malaysia sebagai negara eksportir minyak sawit terbesar di dunia menuduh Uni Eropa menghalangi akses pasar untuk minyak sawit mereka dikarenakan Uni Eropa merupakan importir minyak sawit terbesar ketiga di dunia. 

Sementara itu, Malaysia sempat mengancam akan menghentikan ekspor minyak sawit ke Uni Eropa sebagai respons dari aturan itu. 

Dalam implementasinya, pelaku usaha skala besar memiliki waktu 18 bulan, sementara pelaku usaha menengah dan kecil diberi waktu 24 bulan untuk mematuhinya. Pengusaha yang melanggar hukum dapat dikenai sanksi hingga 4% dari penjualan tahunan. Negara-negara Uni Eropa akan memantau kepatuhan untuk memastikan penegakan hukum yang ada.

Sementara itu, kedua menteri menyampaikan keberatan yang serius mengenai langkah ini dalam sebuah pernyataan kepada media. Menurut laporan, EUDR akan memiliki dampak yang sangat merugikan bagi ekspor minyak kelapa sawit internasional dan juga bagi negara-negara berkembang lainnya. 

Mengutip dari Kompas, selain menaikkan harga ekspor minyak sawit dan membuat komoditas ini kalah saing dengan minyak nabati lain dari dalam Uni Eropa, implementasi aturan ini pun dinilai akan berdampak terhadap masyarakat adat, komunitas lokal, dan petani mandiri karena mereka harus turut memenuhi persyaratan uji tuntas.

Tidak adanya konsultasi dengan mitra dagang disesalkan oleh kedua menteri. Untuk membicarakan implikasi-implikasi tak terduga dari EUDR, termasuk pengecualian petani kecil dari rantai pasok kelapa sawit, Indonesia dan Malaysia akan melakukan kunjungan kerja ke Uni Eropa. 

 

SS

Dipromosikan