Momentum Hari Buruh, Partai Buruh Ajukan Uji Formil Ciptaker

Momentum Hari Buruh, Partai Buruh Ajukan Uji Formil Ciptaker
Image Source: Kompas

Momentum Hari Buruh, Partai Buruh Ajukan Uji Formil Ciptaker

 

“Said mengklaim bahwa pihaknya telah membuat permohonan yang lebih spesifik, terperinci dan komprehensif secara filosofis, teoritis, dan kaidah hukum jika dibandingkan dengan permohonan yang diajukan pihak lain.”

Masih dalam momentum Hari Buruh, Partai Buruh secara resmi mengajukan Permohonan Uji Formil Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja (Ciptaker) ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (3/5/2023).

Semenjak diisukan pertama kali pada tahun 2020, UU Ciptaker telah menerima banyak penolakan dari berbagai kalangan, termasuk kalangan buruh/pekerja. 

Adapun pada peringatan Hari Buruh kemarin, pencabutan UU Ciptaker menjadi salah satu tuntutan yang dibawa oleh para buruh pada aksi.

Baca Juga: Aksi May Day 2023 Bawa 7 Tuntutan, Kemnaker: Itu Hak Mereka

Dilansir dari CNN (3/5/2023), disampaikan oleh kuasa hukum Partai Buruh, Said Salahudin, bahwa secara administratif permohonan uji formil tersebut telah didaftarkan secara online ke MK pada Hari Buruh Internasional, 1 Mei 2023.

“Walaupun pendaftaran awal sudah kami lakukan tepat pada 1 Mei 2023. Karena May Day itu jatuhnya hari libur maka terpaksa harus pendaftarannya itu kita lakukan secara online. Tapi fisiknya harus diberikan maka kita baru menyerahkan pada hari ini ke MK,” tutur Said di Gedung MK, Rabu (3/5/2023).

Dasar Pengajuan Uji Formil ke MK oleh Partai Buruh

Said mengklaim bahwa pihaknya telah membuat permohonan yang lebih spesifik, terperinci dan komprehensif secara filosofis, teoritis, dan kaidah hukum jika dibandingkan dengan permohonan yang diajukan pihak lain.

Ia menambahkan bahwa setidaknya terdapat 5 alasan yang mendasari pihaknya mengajukan uji formil, kelima alasan tersebut pada pokoknya yaitu sebagai berikut:

  1. UU Ciptaker secara jelas telah mengangkangi Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang pada prinsipnya menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional;
  2. Penerbitan Perppu Ciptaker tidak mempunyai dasar dari sisi konstitusi. Sebab, dibuat dalam keadaan tidak memenuhi syarat kondisi mendesak yang berdasarkan standar “keadaan mendesak” dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009;
  3. Pembentukan Perppu dan UU Cipta Kerja tidak memenuhi syarat “Partisipasi Masyarakat” secara bermakna. Said mengatakan tokoh-tokoh buruh dari konfederasi-konfederasi terbesar di Indonesia tidak pernah dimintai pendapat. Meskipun ada, masukan-masukan tesebut diabaikan oleh pemerintah.
  4. UU Cipta Kerja terbukti ditetapkan di luar jadwal konstitusional atau ditetapkan melampaui batas waktu. Perppu Cipta Kerja yang diundangkan pada 30 Desember 2022 seharusnya diberikan penetapan menjadi UU dalam Rapat Paripurna masa sidang pertama. Namun, penetapan Perppu Cipta Kerja baru dilakukan DPR pada Rapat Paripurna 21 Maret 2023.
  5. Tidak terpenuhinya syarat pembentukan Perppu dengan menggunakan metode omnibus law. Pasal 42A Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU No. 12 Th 2011) mengatur bahwa metode omnibus law terbatas hanya bisa digunakan untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang disusun dalam kondisi normal. Oleh karenanya, tidak bisa dan tidak mungkin digunakan pada produk hukum yang bersifat darurat seperti Perppu.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Said mengatakan bahwa UU Ciptaker harus dinyatakan inkonstitusional karena cacat formil dalam penetapannya.

Polemik Klaster Ketenagakerjaan UU Ciptaker

Pada dasarnya pencabutan UU Ciptaker klaster Ketenagakerjaan secara kompak diserukan oleh kalangan pekerja/buruh karena dianggap merugikan.

Dilansir dari Kompas (1/5/2023), pasal-pasal dalam UU  tersebut dinyatakan tidak sesuai harapan pekerja/buruh.

Adapun pasal yang dianggap merugikan yaitu mengenai pengaturan upah minimum, outsourcing (alih daya), perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), pesangon, waktu kerja, istirahat atau cuti, hingga tenaga kerja asing.

Baca Juga: Flexibility Labour Market Perppu Cipta Kerja, Jadi Alaksan PHK?

Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, sempat mengomentari bahwa dalam pengaturan mengenai upah minimum dalam UU Cipta Kerja sebelumnya, terdapat pasal yang menyebutkan bahwa gubernur dapat menetapkan kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). 

Dalam Perppu Ciptaker yang telah ditetapkan menjadi UU, ketentuan mengenai upah tersebut tidak diubah. Sehingga masih sama dengan sebelumnya. Selain itu, Said juga menilai formula kenaikan upah minimum justru semakin tidak jelas.

Dari pihak pemerintah, sebagai respon ditetapkannya Perppu Ciptaker menjadi UU, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) melalui Ditjen PHI dan Jamsostek, Indah Anggoro Putri, pernah menyampaikan bahwa UU Ciptaker bertujuan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja di Indonesia. 

Indah juga menekankan bahwa UU Ciptaker tidak mendegradasi hak-hak pekerja. Hal ini ia sampaikan dalam Forum Merdeka Barat 9 secara daring di Jakarta, Selasa (21/3/2023)

“Hal yang sudah baik di dalam perusahaan terus diperjuangkan. Bukan berarti hadirnya Perppu Ciptaker menjadi UU mendegradasi hak pekerja, itu tidak. Karena sejatinya yang namanya perjanjian kerja sama dan juga Peraturan Perusahaan adalah hukum positif tertinggi di perusahaan,” tutur Indah, sebagaimana dikutip dari AntaraNews (21/3/2023).

 

SS

Dipromosikan