Ini Empat Pelanggaran yang Kerap Terjadi Terhadap Jaminan Produk Halal

Salah satunya adalah mencantumkan label halal yang tidak berasal dari BPOM dan MUI.

Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah (kedua dari kiri). Sumber Foto: http://halalwatch.or.id

Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW), Ikhsan Abdullah menyatakan bahwa sampai saat ini sudah banyak berbagai macam bentuk pelanggaran sertifikasi produk halal yang terjadi. “Kalau pelanggaran sudah banyak, banyak sekali,” ujar Ikhsan kepada KlikLegal melalui sambungan telepon pada Senin (19/6) di Jakarta.

Paling tidak, menurut Ikhsan, ada empat bentuk pelanggaran yang biasa terjadi terhadap Jaminan Produk Halal. Pelanggaran tersebut diantaranya, pertama, mencantumkan label halal tidak dengan sertifikasi ke BPOM dan MUI.

Kedua, tidak mencantumkan label halal, akan tetapi produk tetap beredar di masyarakat. “Sedangkan ketiga, tidak mencantumkan ingredients atau komposisi, kemudian setelah diteliti kembali ternyata mengandung ekstrak babi,” jelas Ikhsan.

Keempat, mencantumkan logo halal, terdapat BPOM merek luar, serta mencantumkan produsen importir, akan tetapi importirnya tidak diketahui dimana keberadaannya. “Alamat yang tercantum dalam produk tersebut jelas, tetapi ketika dilakukan pengecekan secara langsung  ternyata tidak ada,” tegasnya.

Ikhsan menjelaskan bahwa pelanggaran tersebut merupakan bentuk pemalsuan dan tujuan dari pemalsuan tersebut ialah untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. “Apa yang dilakukan oleh pelaku usaha tersebut dapat dikatakan sebagai pemalsuan yang tidak lain dilakukan untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat,” tuturnya.

Ikhsan menegaskan yang dimaksudkan dalam Undang-undang Jaminan Produk Halal ialah kewajiban untuk sertifikasi produk halal, bukan sebatas menjual produk halal. Namun pada kenyataannya masih banyak produk tidak halal yang beredar di pasaran.

“Mandatori sertifikasi itu artinya wajib melakukan sertifikasi halal, bukan mandatori halal. Kalau mandatori halal itu artinya wajib semua barang yang beredar halal, padahal kan yang dimaksud undang-undang tidak demikian karena barang yang tidak halal pun boleh dijual seperti alkohol, daging babi dan sebagainya. Asal ditempatkan di tempat-tempat yang semestinya,” ujarnya.

Ikhsan kemudian menyarankan agar pelaku usaha untuk segera melakukan sertifikasi. Sertifikasi tersebut perlu segera dilakukan untuk bisa mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.

“Bagi produsen sebaiknya produsen atau pembuat barang dan jasa itu segera melakukan sertifikasi, karena untuk melakukan sertifikasi itu memerlukan waktu. Sertifikasi itu  merupakan nilai tambah bagi produksinya itu sendiri, artinya nilai tambah adalah produsen memperoleh kepercayaan dari masyarakat yang didapat konsumen mengingat pasar terbesar di Indonesia ini adalah kaum Muslim. Jadi kepercayaan atau trust itu pasti akan diberikan kepada produk-produk yang sudah bersertifikasi halal,” pungkasnya.

(LY)

Dipromosikan