Indonesia Dinilai Memiliki Terlalu Banyak Regulasi yang Mengatur CSR

Pemerintah seharusnya mengkaji Regulatory Impact Assessment terlebih dahulu sebelum membuat aturan.

Sumber Foto: http://libn.com

Konsultan Corporate Social Responsibility (CSR) dari Amerta Social Consulting Teguh Mudjiyono menilai bahwa secara umum Indonesia memiliki terlalu banyak aturan, termasuk regulasi yang mengatur tentang CSR.

“Kemudian masalahnya menjadi klasik, yaitu harmonisasi peraturan perundang-undangan. Misalnya kita bicara konteks CSR, CSR itu diatur dengan banyak sekali undang-undang,” jelasnya kepada KlikLegal melalui sambungan telepon di Jakarta, Kamis (27/7).

Teguh menjelaskan bahwa CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Misalnya, UU Perseroan Terbatas (UU PT), UU Penanaman Modal, UU Lingkungan Hidup, UU Koperasi dan lain sebagainya. (Baca Juga: Mengenal Sejumlah Regulasi yang Mengatur CSR di Indonesia).

Dalam UU Penanaman Modal, Teguh mengatakan bahwa aturan untuk melakukan CSR ini ditujukan bagi mereka yang menanamkan modalnya di Indonesia. “Khususnya PMA (Penanaman Modal Asing,-red), itu wajib melakukan CSR di sini,” katanya.

Selanjutnya, kewajiban CSR bagi BUMN, Teguh menjelaskan ketentuan itu diatur dalam Peraturan Menteri tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL), “Aturan itu sebetulnya mengatur CSR untuk BUMN,” jelasnya.

Di samping itu, apabila kita berbicara mengenai Peraturan Daerah seperti Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati, kata Teguh, maka kita juga akan mendapati bahwa berbagai Peraturan Daerah tersebut seolah-olah sedang berlomba. “Semua itu (Peraturan Daerah) berlomba-lomba untuk mengatur CSR,” terangnya. (Baca Juga: Dari Sudut Good Governance Aturan CSR untuk Swasta Dinilai Kurang Tepat).

Teguh berpendapat bahwa gagasan mengenai adanya regulasi yang mengatur CSR menjadi suatu hal yang baik. Akan tetapi, hal yang seringkali tidak dilakukan oleh Pemerintah adalah Regulatory Impact Assessment (RIA) atau dampak dan akibat dari timbulnya suatu peraturan. “Jadi, bukan mengatasi masalah dengan menerbitkan aturan baru sehingga nanti banyak peraturan-peraturan terbit, dimunculkan, dibuat tetapi tidak terintegrasi,” ujarnya.

Teguh menyarankan agar dibuat suatu peraturan yang dapat menjadi payung bagi yang aturan yang lainnya, sehingga aturan yang ada dapat tetap terkoneksi satu sama lain dan juga saling terintegrasi. Hal tersebut, menurut Teguh, perlu dilakukan untuk meminimalisir terjadinya persoalan klasik, yakni harmonisasi peraturan perundang-undangan.

Sebagai informasi, DPR dan Pemerintah berencana membuat RUU CSR atau RUU Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. RUU ini awalnya telah ditetapkan ke dalam RUU yang akan diprioritaskan untuk dibahas pada 2017 ini. Namun, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Deding Ishak menuturkan bahwa rencana tersebut ditunda, dan kemungkinan RUU CSR ini akan diprioritaskan untuk dibahas pada 2018 mendatang. (Baca Juga: DPR Menunda Pembahasan RUU CSR).

(LY/PHB)

Dipromosikan