Kinerja DPR Dinilai Lambat, 7 Tahun Perumusan RUU Migas Belum Juga Selesai

LSM menilai proses perumusan dilakukan tertutup dan tidak melibatkan para penggiat LSM.

Suasana rapat di DPR (ilustrasi). Sumber Foto: http://www.bphmigas.go.id/

Manager Advokasi dan Jaringan Publish What You Pay (PWYP) Aryanto Nugroho menilai bahwa kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam menyusun revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi sangat lambat.

Aryanto menuturkan bahwa pembahasan RUU Migas sebenarnya sudah dimluai sejak 2010, tetapi hingga 2017 masih belum juga selesai. “Kalau kita berbicara proses kinerja DPR, sebenarnya satu, mereka sangat lambat,” ujarnya ketika ditemui KlikLegal pada Kamis (7/9) di Jakarta.

Lebih lanjut lagi, Aryanto mengatakan bahwa dari sekitar lima belas tahapan penyusunan undang-undang, RUU Migas ini masih berada pada tahap ketujuh. “Sampai dengan hari ini baru sampai tahap ketujuh, selama tujuh tahun mereka bekerja,” keluhnya. (Baca Juga: Harmonisasi RUU Migas di Baleg Sudah Melebihi Batas Waktu yang Dipersyaratkan).

Selain itu, Aryanto mengatakan apabila melihat dari sisi proses, pembahasan RUU Migas ini dapat dikatakan sangat tertutup. Pembahasan yang tertutup ini juga membuat masyarakat, khususnya dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) tidak begitu terlibat. “Mereka selalu mengundang dari pihak ESDM atau hanya beberapa kali dari pengusaha, tetapi kalau dari publik atau dari yayasan itu tidak,” jelasnya.

Aryanto menyatakan bahwa apabila RUU Migas ini tidak segera diselesaikan, maka bukan hanya komunitas yang akan terkena dampaknya, melainkan seluruh masyarakat. Hal itu dikarenakan adanya ancaman krisis energi dimana minyak bumi di Indonesia akan habis pada tahun 2025 mendatang, sehingga Aryanto menilai bahwa hal tersebut perlu disiasati dari sekarang. (Baca Juga: Baleg Masih Perdebatkan Masalah Holding dalam RUU Migas).

“Kalau saat ini, 43 persen masih minyak bumi, 2025 menjadi 25 persen, sedangkan minyak bumi kita sekarang saja tidak sampai 25 persen. Mau tidak mau, kita harus menyiapkan minyak bumi dan gas sekitar 47 persen. Itu kebutuhan energi kita, kan, 47 persen. Persoalannya, ketika minyak bumi kita habis pada tahun 2019 – 2020, gas kita juga sudah mulai habis tanpa adanya eksplorasi lagi, maka untuk memenuhi kebutuhan ini kita harus apa? Impor kan,” ujar Aryanto.

Aryanto berharap agar RUU ini segera diselesaikan karena menurutnya selama ini RUU Migas tersebut seperti pajangan saja di DPR. Terlebih lagi, Aryanto mengatakan bahwa dengan belum diselesaikannya RUU Migas ini maka menimbulkan tanda tanya besar mengenai keseriusan DPR terhadap RUU Migas ini. “Kita mempertanyakan komitmen sebenarnya DPR serius ngga sih mau menyelesaikan Revisi Undang-Undang Migas ini? Kalau memang DPR bilang tidak mampu, serahkan saja ke Pemerintah, biar Pemerintah yang menyelesaikan,” ujarnya.

Aryanto juga menyarankan agar RUU Migas dapat diselesaikan dalam waktu maksimal sampai dengan akhir tahun 2017 ini. Hal ini dikarenakan pada tahun 2018 ataupun 2019, boleh jadi DPR tidak lagi dapat fokus pada RUU ini. “2018 itu ‘kan sudah tahun politik. Orang-orang di DPR sana mungkin sudah tidak akan konsen lagi dengan model-model seperti ini,” pungkasnya. (Baca Juga: Menelisik Aturan Petroleum Fund di RUU Migas).

(LY)

Dipromosikan