Audit Kehalalan Bahan Baku Produk Bisa Jadi Masalah Besar

Perlu adanya penyesuaian antara sektor hulu dan hilir.

Ketua GAPMMI Adhi S Lukman. Sumber Foto: Dok. PRABU.

Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi Lukman menilai bahwa audit kehalalan bahan baku suatu produk bisa menjadi masalah maupun tantangan besar yang nantinya dihadapi oleh Indonesia dalam rangka menyambut kewajiban sertifikasi halal.

Sebelumnya, Adhi mengatakan bahwa saat ini sudah memasuki Global Value Chain (GVC) dimana proses produksi dan distribusi suatu barang diselenggarakan secara bersama-sama oleh beberapa negara. Untuk itu, Adhi mengatakan salah satu yang menjadi hal penting dalam GVC adalah mengenai bahan baku. (Baca Juga: Ini Beberapa Tantangan dalam Penyelenggaraan Jaminan Halal Menurut GAPMMI).

Di sisi lain, perihal bahan baku ini masih menjadi salah satu tantangan bagi Indonesia terlebih mengenai kehalalannya. “Kalau kita nanti untuk semua bahan baku harus diperiksa ke luar negeri agar mendapatkan sertifikat halal disini, ini satu tantangan yang besar,” ujar Adhi dalam seminar yang diselenggarakan oleh Policy Research Analysis and Business Strategy (PRABU) pada Rabu (25/10) di Jakarta.

Adhi melanjutkan, hal tersebut dikatakan sebagai tantangan yang besar karena masih banyaknya industri farmasi di Indonesia yang menyatakan bahwa 90% bahan baku yang digunakan adalah hasil impor. “Nah, kalau itu kita tidak ada kerja sama dengan Lembaga Sertifikasi Halal di luar negeri, itu menjadi masalah besar,” ujarnya.

Kepada KlikLegal usai seminar, Adhi menjelaskan bahwa biaya logistik di Indonesia termasuk yang paling mahal dibandingkan negara ASEAN lainnya. Hal ini disebabkan karena letak geografis Indonesia, kemudian sistem transportasi perangkat keras dan juga perangkat lunak yang belum efisien, dan bahan baku. “Bahan baku juga. Itu juga salah satunya. Bahan baku industri makanan minuman itu masih banyak yang impor. Ketergantungan impor,” ujarnya.

Berkaitan dengan hal tersebut, Adhi menyarankan agar sektor hulu dan hilir dari tiap industri, termasuk industri makanan dan minuman agar dapat berjalan beriringan. “Jadi di kala industri hilirnya itu didorong untuk tumbuh cepat, sektor hulunya itu harus menyiapkan,” ujarnya.

Adhi mengaku bahwa tiap industri makanan dan minuman tidak ingin melakukan impor. Akan tetapi, karena ketersediaan bahan baku dalam negeri yang masih belum memadai sehingga industri-industri menggunakan bahan baku produknya dari hasil impor. “Kalau ketersediaan di dalam negeri itu tidak ada, itu masalahnya,” ujarnya. (Baca Juga: Sebagian Besar Produk Makanan dan Minuman Masih Belum Bersertifikat Halal).

Untuk itu, Adhi menegaskan bahwa menjadi hal yang penting untuk meningkatkan proses pada sektor hulu agar dapat sesuai dan sejalan dengan sektor hilir. “Kalau hilirnya fokus katakan di sektor penumbuhan industri coklat misalnya, berarti hulunya atau kakaonya itu perlu ditingkatkan. Kalau misalnya industri kopi, penanaman kopinya harus ditingkatkan. Holtikultura demikian juga. Jadi, saya kira itu,” jelasnya.

Mengenai kewajiban sertifikasi halal produk yang beredar Indoneisa, Adhi berpesan agar para pelaku usaha dapat segera melakukan permohonan sertifikasi halal sebagai upaya pemenuhan pasar serta bentuk dari melaksanakan regulasi yang ada. Selain itu, Adhi berharap agar adanya kewajiban sertifikasi halal ini tidak justru menimbulkan kerugian khususnya bagi pelaku usaha. “Harapan saya tidak menjadi chaos. Saya kira itu,” pungkasnya.

(LY)

Dipromosikan