Ada Beberapa Perbedaan Auditor Halal Sebelum dan Sesudah UU JPH

UU JPH memuat sanksi pidana yang bisa dikenakan kepada auditor halal.

Pelatihan auditor halal (Ilustrasi). Sumber Foto: halalmui.org

Sekretaris Jenderal Asosiasi Auditor Halal Internasional (International Association of Halal Auditor) Muhammad Yanis Musdja menjelaskan bahwa ada beberapa perbedaan auditor halal sebelum dan sesudah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH).

“Ada perbedaan, sangat-sangat terlihat sekali, dan juga bagus sekali aturan yang sekarang,” kata Yanis Kepada KlikLegal melalui sambungan telepon, Selasa (7/11).

Salah satu perbedaan yang mendasar adalah sanksi hukuman. Yanis menuturkan, sebelum UU JPH, auditor halal yang tidak menjalani perannya dengan baik atau melakukan pelanggaran tidak dikenakan sanksi baik pidana ataupun denda. Sedangkan, sesudah UU JPH maka auditor halal bisa dikenakan sanksi. ”Di UU JPH ini, auditor halal itu kalau kerjanya tidak benar, dia bisa dipenjarakan selama dua tahun atau hukuman denda dua miliar. Ada di pasal 57,” katanya.

Bahkan, pelaku usaha juga akan dikenakan sanksi apabila tidak menjaga kehalalan produk yang telah bersertikat halal. “Di pasal 56. Apabila suatu produk sudah punya sertifikasi halal tetapi produknya tidak bisa dijaga halal, maka pelaku industri tersebut bisa dikenakan hukuman kurungan lima tahun penjara atau hukuman denda dua miliar,” ujarnya.

“Bila dulu ada auditor halal itu kerjanya tidak benar atau dia disogok oleh pelaku industri, misalkan barang-barangnya haram, ragu-ragu atau syubhat terus tiba-tiba dilabeli halal itu ada sanksinya. Itu dulu tidak ada sanksinya karena halal itu kan sukarela kan dulu, sekarang mandatory dulu itu voluntary,” lanjutnya.

Sebagai informasi, Pasal 56 UU JPH menyatakan bahwa pelaku usaha yang tidak menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal dapat dipidana dengan dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah). Sedangkan, Pasal 57 berbunyi, setiap orang yang terlibat dalam penyelengaraan proses JPH yang tidak menjaga kerahasiaanformula yang tercantum dalam informasi yang diserahkan pelaku usaha bisa dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah).

Pebedaan selanjutnya, kata Yanis, adalah tidak ada syarat khusus yang mewajibkan latar belakang pendidikan untuk menjadi auditor halal. Sedangkan, saat ini auditor halal wajib berasal dari enam latar belakang pendidikan di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, atau farmasi. “Kalau dulu itu bisa sarjana apa saja, dulu itu kurang mantap,” tuturnya.

Sarjana Syariah Islam

Lebih lanjut, Yanis pun menambahkan dahulu lulusan sarjana syariah islam seperti ahli hadis pun bisa menjadi auditor. Padahal, yang dibutuhkan bukan hanya sekedar paham dalil naqliyah seperti hadis dan al-Quran saja, tetapi harus paham juga dalil aqliyahnya. Sebab, dalam al-Quran juga diperintahkan untuk melakukan penelitian.

“Kitab yang kami turunkan wahai engkau ya Muhammad untuk diteliti ayat-ayatnya, untuk direnungkan ayat-ayatnya supaya mendapat ilmu yang benar orang-orang yang telah diberi peringatan oleh Allah. Ini makan makanan yang haram itu kan peringatan Allah. Nah, itu kita harus bisa paham dengan dalil aqliyah, dan dalil aqliyah itu membutuhkan penelitian. Tak bisa hanya dalil naqliyah saja,” katanya.

Yanis mengharapkan yang akan menjadi auditor halal adalah orang yang mengerti dalil naqliyah dan aqliyah. “Jadi dia mengerti hakikatnya, jadi dia bisa menganalisis di laboratorium, mengerti efek-efek sampingnya, bagaimana nampaknya, bagaimana resiko kalau kita mengkonsumsi makanan haram, apa dampaknya terhadap kesehatan, nah itu yang ulama. Jadi tidak hanya sekedar paham hadis, paham Al-Quran tetapi tidak tahu dalil aqliyah,” ujarnya.

“Makanya kita memilih sarjana yang enam itu, kita harapkan mereka punya dalil aqliyahnya dan juga punya dalil naqliyahnya. Nah, itu filosofinya,” pungkasnya.

(PHB)

Dipromosikan