Ini Penjelasan BPJPH Terhadap Ketentuan Kewajiban Sertifikasi Halal yang Masih Diperdebatkan Pelaku Usaha

Produl non halal tetap bisa beredar asalkan mencantumkan label non halal.

Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH Siti Aminah (Kanan). Sumber Foto: PRABU.

Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Siti Aminah menjelaskan beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) yang masih menjadi perdebatan di kalangan pelaku usaha.

Salah satu pasal yang dinilai kontroversial adalah Pasal 4 UU JPH. Secara lengkap, ketentuan itu berbunyi, “Produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.” (Baca Juga: Memahami Enam Asas dalam UU Jaminan Produk Halal).

“Jadi ada beberapa anggapan yang masih sampai saat ini ada, terutama bagi pelaku usaha baik dalam maupun luar negeri. Berarti di Indonesia tidak boleh ada produk haram, kalau baca di sini ya, itu logikanya. Padahal tidak seperti itu,” ujar Aminah dalam seminar ‘Menuju 2019 Wajib Halal : Cukupkah Satu Tahun Mempersiapkan Serifiksi Halal’ yang diselenggarakan oleh Policy Research Analysis and Business Strategy (PRABU) pada Rabu (24/1) di Jakarta.

Menurut Aminah, semestinya para pelaku usaha juga harus memperhatikan pasal selanjutnya. Ketentuan yang dimaksud adalah Pasal 26 UU JPH yang menyebutkan pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan dikecualikan dari mengajukan permohonan sertifikat halal dan wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada produk.

“Jadi misalnya di antara produk yang dimiliki Bapak Ibu ada yang produknya tidak halal silakan saja diedarkan tetapi mencantumkan keterangan tidak halal. Jadi, nantinya 17 Oktober 2019, yang ada hanyalah label halal dan keterangan tidak halal, hanya itu. Karena selama ini banyak produk halal yang sudah beredar berbagai macam bentuk dan berbagai label,” ungkap Aminah. (Baca Juga: Elvina Rahayu, Konsultan yang Pernah Jadi Auditor Halal Selama 20 Tahun).

Selain itu, terkait pemberlakuan kewajiban sertifikasi halal juga menjadi perdebatan di kalangan pelaku usaha. Aminah menegaskan ketentuan UU JPH berlaku sejak diundangkan 17 Oktober 2014, sedangkan amanat UU JPH terkait pelaksanaan kewajiban sertifikasi halal sesuai dengan ketetuan Pasal 67 ayat (1) UU JPH, akan berlaku secara efektif 5 (lima) tahun setelah UU JPH diundangkan.

“UU JPH diundangkan 17 Oktober 2014, ternyata dalam masa kurun waktu itu kami mempersiapkan beberapa regulasi untuk sampai kepada tahapan ini ternyata belum selesai. Karena bahan baku yang terkait nanti pada tahun 2019 itu sangat banyak. Sehinga tahapan yang ini tidak ada sampai dengan tahapan 2019. Tetapi, logikanya UU JPH ini sudah harus dipakai oleh Bapak Ibu, memang belum menjadi wajib, tetapi mau tidak mau memang sudah menjadi barrier bagi pelaku usaha, jadi sudah harus mempersiapkan diri karena sudah ada UU nya,” kata Aminah.

“Kemudian nantinya 17 oktober 2019 itu menjadi wajib, nah itu yang nanti implikasinya ke sana, tetapi sejak UU itu sudah disahkan pada tahun 2014 itu Bapak Ibu semestinya sudah mempersiapkan dari kemarin itu. Bukan setelah 2019 tetapi sebelum tahun 2019 ya, Bapak Ibu sudah harus mempersiapkan hal-hal yang harus dilakukan,” pungkas Aminah. (Baca Juga: Tiga Tantangan Industri Farmasi Menyambut Kewajiban Sertifikasi Halal).

 

(PHB)

Dipromosikan