Ini Urgensi Moratorium PKPU dan Kepailitan pada Masa Pandemi Covid-19

Ini Urgensi Moratorium PKPU dan Kepailitan pada Masa Pandemi Covid-19

Ini Urgensi Moratorium PKPU dan Kepailitan pada Masa Pandemi Covid-19

Kondisi perusahaan yang jatuh akibat pandemi tidak layak diajukan PKPU dan kepailitan. Karena UU Kepailitan tidak dimaksudkan untuk mempailitkan perusahaan yang menjadi korban akibat dihantam pandemi. 

Banyaknya kasus PKPU dan Kepailitan yang sedang bertebaran di media sosial sudah tidak dapat dipandang sebelah mata. Hal ini tidak lepas akibat dampak yang ditimbulkan Pandemi Covid-19. 

Berdasarkan data, telah terjadi 1298 kasus yang sudah ataupun masih berjalan di pengadilan niaga sampai saat ini. Angka tersebut melambung tinggi jika dilihat kasus PKPU dan Kepailitan yang terjadi di tahun 2019, yakni 550 kasus. Adapun beberapa perusahaan besar seperti Pan Brothers dan Garuda Indonesia juga terseret ke dalam jurang PKPU.

Ketua umum Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo, Hariyadi B. Sukamdani mengatakan hal ini sudah tidak sesuai pada tujuan awal dibentuknya Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan). Beliau mengatakan bahwa para kreditur kerap hanya bertujuan mengambil keuntungan dengan cara mempailitkan debitur terkait.

Kreditur memang memiliki hak untuk menagih pembayaran kepada debitur, serta berhak untuk mengajukan permohonan PKPU dan Kepailitan kepada debitur. Walaupun begitu, paradigma berpikir sederhana seperti itu tidak dapat serta diimplementasikan serta merta. Walaupun terkesan sederhana, permohonan PKPU dan Kepailitan secara serta merta dinilai mencederai tujuan dibentuknya UU Kepailitan dan juga menimbulkan dampak luas bagi perekonomian Indonesia.

Para kreditur tidak sedikit yang mengesampingkan pasal penyelesaian sengketa dalam proses PKPU dan Kepailitan. Para kreditur seringkali langsung menempuh pengadilan niaga, dan tidak menghiraukan BANI/Pengadilan Negeri sebagai media penyelesaian sengketa yang telah disepakati para pihak.

Hariyadi B. Sukamdani mengatakan bahwa jika banyaknya gugatan Kepailitan diterima dapat menyebabkan pemutusan hubungan kerja yang dapat meningkatkan angka pengangguran. Jika dilihat pada skala nasional, hal ini menjadi multiplier effect dimana konsumsi dan juga pajak akan berkurang yang menyebabkan stabilitas perekonomian dapat terganggu.

Ketua umum Apindo itu juga mengatakan bahwa banyaknya permohonan PKPU sudah sangat bertentangan dengan asas yang diatur UU Kepailitan. Beliau mengatakan sudah seharusnya titik berat pada PKPU merupakan debitur untuk melaksanakan rancangan homologasi. Namun, faktanya 95% permohonan PKPU diajukan oleh kreditur.

Rusak Nama Baik

Dr.dr. Ekawahyu Kasih, SH., MH., SE.,MM.,SPd.,MPd selaku dan Anggota Satgas Moratorium PKPU dan Kepailitan APINDO juga mengomentari secara detail kekurangan di dalam UU Kepailitan serta perlunya moratorium PKPU khususnya pada Pandemi Covid-19. Dalam pembukaannya, beliau menguraikan bahwa UU Kepailitan tidak mengenal asas ne bis in idem. Menurutnya, Permohonan PKPU dan Kepailitan dapat dilakukan secara berulang tanpa batas jika masih ditolak oleh Majelis Hakim.

Hal tersebut tentunya merugikan debitur karena rusaknya nama baik dan kepercayaan dari mitra kerja/masyarakat, akibatnya debitur yang sehat sekalipun dapat Pailit dengan sendirinya, walaupun pada proses hukumnya ditolak Majelis Hakim. Kekurangan ini dirasakan PT. Pan Brothers, Tbk yang belum lama diajukan permohonan 2 kali oleh PT. Maybank Indonesia, Tbk yang hanya berselang 9 hari sejak permohonan PKPU pertama.

Anggota Satgas Moratorium PKPU dan Kepailitan APINDO itu juga mengungkapkan, bahwa tidak ada nilai piutang minimal sebagai syarat permohonan PKPU atau Kepailitan saat ini. Ketentuan ini memberi ruang bagi kreditur dalam melakukan permohonan PKPU dan Kepailitan serta merta. Mirisnya, pernah terjadi yakni pada tanggal 6 Oktober 2020, PT. Ace Hardware,Tbk diajukan permohonan PKPU dengan nilai hutang yang hanya senilai Rp. 10 juta.

Permasalahan kembali muncul ketika suatu perusahaan yang solven ditetapkan pailit akibat ditolaknya rancangan homologasi oleh kreditur. Hal ini bertambah miris ketika hutang yang di klaim sebenarnya adalah fiktif akibat penggelembungan hutang seperti halnya yang terjadi pada Konsorsium PT Java Star Rig – PT Atlantic Oilfield Services melawan Hyoil Pte Ltd.

Tidak ada upaya hukum yang diatur dalam UU Kepailitan saat ini, bahkan tidak ada pasal pemidanaan mengenai penggelembungan hutang yang dilakukan kreditur. Hal ini tentunya sangat merugikan debitur yang beritikad baik dalam melakukan perjanjian hutang-piutang.

Insolvency Test

Ekawahyu Kasih menyampaikan bahwa pihak Apindo menyarankan pemerintah untuk memberlakukan insolvency test di Indonesia. Lebih lanjut, beliau mengatakan kepailitan yang terjadi pada perusahaan yang masih solven hanya akan memperburuk situasi kala Pandemi Covid-19. Beberapa negara yang dapat menjadi rujukan dalam menerapkan insolvency test antara lain Singapura, Inggris, Jerman, dan Australia.

Upaya hukum juga diperlukan jika terjadi putusan yang merugikan debitur ataupun kreditur akibat putusan yang semena-mena. Hal ini semata-mata untuk memulihkan nama pihak yang memiliki itikad baik akibat tindak pidana yang dilakukan seperti halnya yang terjadi pada kasus Konsorsium PT Java Star Rig – PT Atlantic Oilfield Services melawan Hyoil Pte Ltd.

Pihak Apindo menyampaikan, argumen-argumen tersebut menjadi landasan pentingnya pembentukan Perpu Moratorium PKPU dan Kepailitan. Moratorium PKPU dan Kepailitan tidak berlaku secara permanen. Hariyadi B. Sukamdani mengatakan moratorium hanya berlaku sampai dengan UUK-PKPU dilakukan perubahan.

Kebijakan Moratorium PKPU dan Kepailitan ini sudah banyak diimplementasikan di negara-negara eropa. World Bank menyatakan bahwa kebijakan sementara (temporary measure) berupa Moratorium dalam masa Pandemi merupakan hal yang wajar, tidak akan mempengaruhi penilaian kemudahan berusaha (Ease of Doing Business/EoDB) ataupun menurunkan kepercayaan investor asing, selama Pemerintah memiliki penjelasan yang komprehensif dan memiliki kepastian waktu.

Pada intinya, Apindo meminta 2 hal kepada pemerintah. Pertama, Penerbitan Perpu tentang Moratorium Pengajuan PKPU dan Kepailitan sebagai bentuk solusi banyaknya permohonan kasus PKPU dan Kepailitan pada masa Pandemi Covid-19. Kedua, Revisi Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU sebagai pengakhiran Perpu Moratorium Pengajuan PKPU dan Kepailitan, serta penyempurnaan terhadap sistem PKPU dan Kepailitan yang ada di Indonesia.

 

AN

Dipromosikan