Bolehkah Pengembang Memasarkan Apartemen Sebelum Pembangunan Selesai? Ini Penjelasanannya

Calon pembeli harus memastikan terlebih dahulu apakah pengembang sudah memenuhi syarat dan ketentuan dalam pemasaran.

Ilustrasi Apartemen. Sumber Foto: https://pixabay.com/

 

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Prof. Arie Sukanti Hutagalung berpendapat bahwa pengembang dapat melakukan pemasaran atau Pra Perjanjian Pengikatan Jual Beli (Pra- PJB) sebelum pembanguan rumah susun atau apartemen selesai. Namun, bagi calon pembeli harus memastikan terlebih dahulu apakah pengembang tersebut sudah memenuhi syarat dan ketentuan dalam pemasaran.

“Jika pemasaran sebelum dilakukan sebelum pembangunan harus tanya dulu ada nggak surat keterangan rencana kota, surat kepemilikan hak tanah, kepastian status penggunaan rumah susun, perizinan pembangunan rumah susun melalui IMB, dan jaminan atas pembangunan rumah susun dari lembaga penjamin,” kata Arie di Auditorium Djokosoetono FHUI Depok, Kamis, (30/11).

Apabila hal itu terpenuhi, lanjut Arie, calon pembeli dan pengembang bisa membuat surat pemesanan dengan memuat hal-hal yang diperjanjikan. Antara lain, nama atau nomor bangunan dan sarusun yang dipesan, nomor lantai dan tipe sarusun, luas sarusun, harga jual sarusun, ketentuan pembayaran uang muka, spesifikasi bangunan, tanggal selesainya pembangunan rumah susun, ketentuan mengenai persyaratan dan persetujuan untuk ketentuan lainnya.

“Nah, surat pesanan harus dilampiri dengan gambar yang menunjukkan letak pasti sarusun yang dipesan serta ketentuan tahapan pembayaran. Jadi nanti kalau minta pesanan letaknya di sini, jangan tidak sesuai. Banyak itu terjadi seperti itu, setelah jadi kenapa apartemen saya kok dapetnya di sebelah sini yang pemandangannya rawa atau kampung jadi tidak enak. Nah mulai dari situ lah untuk diingat-ingat lagi yang dipesan,” kata narasumber RUU Rumah Susun dan RUU Perumahan.

Lebih lanjut, Arie mejelaskan dalam waktu 30 hari kalender setelah penandatanganan surat pemesanan, pembeli dan pengembang harus menandatangani akta PPJB di hadapan notaris. Hal tersebut dilakukan apabila pengembang sudah harus memenuhi kewajiban sebagaimana ditetapkan dalam akta PPJB tersebut.

Akta itu harus memuat status kepemilikan tanah; kepemilikan IMB; ketersediaan prasaran, saran dan utilitas; keterbangunan paling sedikit 20% dari volume konstruksi bangunan RS yang sedang dipasarkan; dan hal-hal lain yang diperjanjikan. Hal ini diatur dalam Pasal 43 UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.

“Apabila waktu yang ditentukan belum menandatangani akta PPJB, akibat kelalaian pembeli, pemborong dapat tidak mengembalikan uang pesanan. Sebaliknya, akibat kelalaian pelaku pembangunan, uang pesanan dapat dikembalikan 100 persen,” ujarnya.

Namun, yang patut diingat, lanjut Arie, pelaku pengembang tidak boleh melakukan serah terima dan/atau menarik dana lebih dari 80 persen dari pembeli sebelum memenuhi syarat PPJB seperti diatur Pasal 43 ayat (2) jo Pasal 42 ayat (2) UU Rumah Susun.

Selain itu, Arie menjelaskan pengembang dilarang membuat PPJB yang tidak sesuai dengan yang dipasarkan atau sebelumnya memenuhi syarat Pasal 43 ayat (2) UU Rumah Susun. “Nah, jadi dalam ketentuan umum PPJB itu jelas pelaku pembangunan dilarang membuat yang tidak sesuai dengan yang dipasarkan atau belum memenuhi yang dipersyaratkan di dalam  pasal 43 ayat (2),” katanya.

Arie menuturkan jika pengembang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan tersebut maka dapat dipidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak 4 (empat) miliar. “Jika pasal itu dilanggar pengembang bisa dipidana atau denda,” pungkas Arie.

(PHB)

 

Dipromosikan