Hasil dari Dana CSR Jangan Jadi Kampanye Terselubung Pejabat

Modusnya, dana CSR digunakan untuk membangun jalan. Kemudian jalan diresmikan dan diklaim sebagai keberhasilan pejabat.

Salah satu taman yang dibangun melalui program CSR (Ilustrasi). Sumber Foto: http://malangvoice.com/

Alokasi dana corporate social responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan sejatinya diperuntukan untuk membantu masyarakat sekitar perusahaan tersebut beroperasi. Namun, faktanya, ada beberapa dana CSR yang justru digunakan untuk pembangunan, sehingga kemudian diklaim oleh pejabat sebagai ajang kampanye keberhasilan pejabat tersebut.

Praktik semacam ini dikritik oleh Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Jawa Barat Dedy Widjaja. Hal ini pula yang sebenarnya menjadi salah satu keberatan para pengusaha terkait pengaturan CSR.

Dedy menjelaskan bahwa rencana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membuat Rancangan Undang-Undang CSR harus didukung oleh sistem administrasi yang benar. “Selama administrasi masih tidak benar, banyak CSR yang digunakan untuk kampanye, kami masih keberatan,” ujar Dedy kepada KlikLegal melalui sambungan telepon, Selasa (1/8).

Lebih lanjut, Dedy menambahkan bila memang dana CSR ingin digunakan untuk pembangunan maka dana CSR tersebut bisa digabungkan dengan pajak. “Jadi baiknya dititipkan di pajak saja. Pajak kan mau diturunkan tahun depan, maka bisa kita atur, kita sisihkan berapa persen, misalkan satu persen atau pun berapa untuk CSR. Jadi bisa disatukan dengan pajak, kenapa tidak?” ujarnya. (Baca Juga: Ketua APINDO Jabar Sarankan CSR Disatukan dengan Pajak).

Meski begitu, Dedy mengingatkan bila memang CSR diposisikan tetap berada di luar pajak, maka sifatnya sesuai dengan sifat awalnya yang sukarela atau bukan sebuah kewajiban. “Kalau dipaksakan, maka kami tidak mau karena memang alokasinya kemana itu tidak tahu. Entah dipakai kampanye, bikin jalan, kami tidak tahu,” tukasnya.

Dedy menjelaskan bahwa ada pejabat daerah yang memang menggunakan dana CSR ini sebagai kampanye terselubung agar bisa terpilih kembali. “Sekarang banyak kejadian aparat daerah setempat, walikota dan bupati menggunakan uang CSR untuk membuat jalan, diresmikan oleh mereka,” ujarnya.

“Jadi ada kepentingan terselubung untuk kampanye. Kami tidak mau seperti itu,” tambahnya.

Sebagai informasi, sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menetapkan RUU CSR sebagai salah satu prioritas yang dibahas pada 2017 ini. Namun, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Deding Ishak menegaskan bahwa DPR telah sepakat untuk menunda pembahasan RUU CSR pada 2017 ini. Ada beberapa RUU yang dinilai lebih prioritas di wilayah kerja Komisi VIII, yakni RUU Pekerja Sosial, serta RUU Umrah dan Haji. (Baca Juga: DPR Menunda Pembahasan RUU CSR).

Deding juga tidak menampik bila RUU CSR masih menimbulkan penolakan atau perdebatan di kalangan pengusaha. “Ada dari APINDO misalnya. Dia masih mempertanyakan, karena katanya aturannya seperti yang sekarang saja, merasa keberatan. Ada yang keberatan dan ada yang setuju,” tukasnya.

(ASH/LY)

Dipromosikan