“Kegentingan Memaksa” Dipersoalkan Oleh Pakar HTN, Begini Menurut MK!

“Kegentingan Memaksa Dipersoalkan Oleh Pakar HTN, Begini Menurut MK!

“Kegentingan Memaksa” Dipersoalkan Oleh Pakar HTN, Begini Menurut MK!

Langkah Pemerintah dalam menerbitkan Perppu No. 2/2022 tuai kritik dari pakar hukum tata negara. Sejatinya, syarat untuk menerbitkan Perppu termaktub dalam Putusan MK No. 138/2009”.

Sebagaimana diketahui, dalam Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (“UUD NRI 1945”), disebutkan bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Adapun hal ini juga dipertegas oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU No. 12/2011).

Melansir setkab.go.id (30/12/2022), Pemerintah baru saja menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang  Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu No. 2/2022”).

Sebagaimana dilansir dari kliklegal.com (02/01/2023), yang menjadi alasan dari diterbitkannya Perppu No. 2/2022 adalah pertimbangan akan kebutuhan mendesak dalam mengantisipasi kondisi global, baik yang terkait ekonomi maupun geopolitik.

“Pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global, baik yang terkait dengan ekonomi, kita menghadapi resesi global, peningkatan inflasi, kemudian ancaman stagflasi,” tutur Airlangga.

Selain itu, di saat pemerintah juga terus berupaya untuk menjaring investasi sebagai salah satu kunci pertumbuhan ekonomi, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU No.11/2020”)  kurang mengayomi dunia usaha, baik di dalam dan di luar negeri.

Berangkat dari alasan pemerintah sebagaimana dimaksud, dua ahli hukum tata negara pun tutur merespons beleid tersebut.

Sebagaimana dilansir dari tempo.co.id (07/02/2023) Feri Amsari selaku Akademisi dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas turut mempertanyakan alasan kegentingan yang menjadi dasar terbitnya Perppu No. 2/2022.

Menurutnya, Perppu hanya bisa dikeluarkan oleh presiden jika memenuhi syarat kondisi kegentingan memaksa dan meskipun menjadi hak prerogatif presiden, Perppu sejatinya tidak boleh bersifat subjektif.

“Pertanyaan besarnya, apa hal ihwal kegentingan memaksa itu sudah diperdebatkan lama? Apa yang disebut genting dan memaksa itu?” ujar Feri dalam Forum Diskusi Salemba 87 yang digelar virtual pada Sabtu.

Senada dengan Feri, sebagaimana dikutip dari kompas.com (03/02/2023), Bivitri, Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia mengatakan bahwa seharusnya Perppu No. 2/2022 diterbitkan pemerintah jika memang benar terjadi situasi kegentingan yang memaksa dan krisis. Menurut Bivitri, “situasi kegentingan” kesannya dipaksakan oleh Pemerintah.

“Perppu itu dibuat untuk kegentingan memaksa, bukan memaksakan kegentingan,” ujarnya. Kegentingan memaksa ini tidak ada,” ujar Bivitri.

Lebih lanjut, Bivitri juga beranggapan bahwa penerbitan Perppu No. 2/2022 adalah cara pemerintah mengakali hukum tata negara. Dia menjelaskan, wilayah hukum Perppu sejatinya berbeda dari undang-undang (UU) namun materinya muatannya tetap sama. 

“Menurut saya ini akal-akalan pada hukum tata negara Indonesia, karena bentuknya Perppu aja harus kita kritik betul,” ujar pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu.

Menurut Bivitri, ketentuan penerbitan Perppu yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa di dalam Pasal 22 UUD NRI 1945 adalah dalam konteks situasi darurat dan sangat mendesak

Maka dari itu, Bivitri menilai penerbitan Perppu seharusnya baru dilakukan ketika negara benar-benar berada dalam situasi yang sangat genting dan memaksa pemerintah mengambil tindakan yang sifatnya “segera”. 

“Misalnya kalau Perppu-nya tidak keluar hari ini maka Indonesia akan bangkrut atau musnah,” ujar Bivitri.

Lantas, bagaimana tolak ukur “kegentingan memaksa” sehingga Perppu harus diterbitkan?

Merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 (“Putusan MK No. 138/2009”), disebutkan pada bagian pertimbangan hakim poin 3.10 bahwa Perppu diperlukan apabila:

  1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
  2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
  3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;

 

RAR

Dipromosikan