Ketika Artidjo Cs Bebaskan Seorang Asisten Apoteker

Sedangkan dua bidan terbukti bersalah melakukan kelalain yang menyebabkan seseorang meninggal dunia.

Ketua Kamar Pidana MA Artidjo Alkostar. Sumber Foto: Twitter

Artidjo Alkostar dikenal sebagai seorang hakim agung yang tidak pernah mau pandang bulu terhadap terdakwa kasus korupsi. Di setiap majelis hakim yang dipimpinnya, Artidjo bersama dengan koleganya kerap memutus lebih berat para terdakwa kasus korupsi daripada putusan pengadilan sebelumnnya.

Namun, sikap tersebut berbeda ketika Artidjo memimpin majelis hakim yang menangani sebuah kasus yang sempat menjerat tenaga kesehatan, yakni dua bidan dan seorang apoteker. Dalam putusan tersebut, majelis hakim yang dipimpin Artidjo justru membebaskan seorang asisten apoteker pada Juni 2015.

“Menyatakan Terdakwa II Cici Kamiarsih panggilan Cici tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa/Penuntut Umum dalam dakwaan Alternatif Kesatu dan Alternatif Kedua,” demikian bunyi amar putusan majelis yang beranggotakan Surya Jaya dan Sri Murmahyuni ini.

Cici Kamiarsih merupakan seorang asisten apoteker di Kota Padang. Berdasarkan salinan putusan No.963 K/PID.SUS/2013, kasus ini berawal ketika Bidan Desi Sarli (terdakwa I) yang bertugas di Klinik FITRIA Kota Padang kedatangan pasien bernama Chori Hariyani. Pasien tersebut dalam keadaan hamil dan ingin mengecek kandungannya serta berencana melahirkan di klinik tersebut.

Ketika itu, Bidan Desi mempunyai obat perangsang merek Gastrul yang dikeluarkan oleh Asisten Apoteker Cici sekira bulan Januari. Desi memberikan obat ini kepada Chori sebanyak 2 butir dengan cara penggunaannya setengah tablet setiap 6 jam. Setelah obat itu dimakan, Chori mengalami sakit perut, lalu ia dibawa suaminya lagi ke Klinik Bersalin FITRIA.

Sesampainya di klinik, Chori langsung masuk ke dalam ruang bersalin, sedangkan Bidan Desi dan Bidan Siska (terdakwa II)  memepersiapkan semua alat-alat, seperti infus dan lain sebagainya. Dua bidan memberitahukan bahwa terjadi pembukaan mulut rahim Chori lengkap kepala bayi keluar masuk. Namun, Desi dan Siska tetap berusaha, tetapi bayi tetap belum lahir.

Singkat cerita, pasien dirujuk ke rumah sakit. Saat proses persalinan di rumah sakit, bayi tersebut lahir, tetapi nafasnya agak sesak disebabkan karena gawat janin yang mana penyebabnya adalah proses masa kehamilan yang telah lewat waktu dan tali pusatnya terpelintir. Hal ini dilihat dari kulit bayi yang sembab, kepala masih tinggi, air ketuban warna hijau keriput, kuku bayi panjang. “Bayi ini hidup selama lebih kurang 15 menit, namun akhirnya meninggal dunia,” demikian sebagaimana dikutip dari putusan.

Nasib bidan Desi dan Siska berbeda dengan asisten apoteker Cici. Dua bidan itu divonis 1 tahun bagi Desi dan 8 bulan bagi Siska karena dinilai telah melakukan kelalaian hingga menyebabkan kematian seseorang. Majelis hakim MA berpendapat bahwa Desi melakukan kesalahan karena memberi obat Gastrul sebanyak dua butir. Padahal, Gastrul termasuk obat keras, dan sebagai bidan, Desi tidak boleh memberikan atau membuat resep obat.

Kesalahan kedua adalah Desi dan Siska dianggap telah mengulur waktu proses melahirkan. Sang jabang bayi dibiarkan macet di mulut rahim hingga 6 jam lamanya, padahal pasien sudah minta agar dikeluarkan dari klinik FITRIA dan dirujuk ke rumah sakit. Kesalahan lainnya adalah obat Gastrul mengakibatkan ketuban pecah, sehingga air ketuban habis dan bayi mengalami masalah serius.

Sedangkan, asisten apoteker Cici divonis bebas karena dinilai tidak ikut berperan dalam proses persalinan pasien Chori.

(ASH/PHB)

 

Dipromosikan