“Kiprah” UU Migas di Mahkamah Konstitusi

Sudah empat kali di-judicial review. Ada dua permohonan yang dikabulkan.

Gedung MK. Sumber Foto: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Penyusunan rancangan revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (revisi UU Migas) sudah masuk ke dalam tahap harmonisasi di Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR) saat ini. Salah satu alasan mengapa UU Migas ini perlu direvisi adalah karena ada beberapa ketentuan yang “bolong” setelah dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat oleh Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan penelusuran KlikLegal, UU Migas memang cukup sering dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena dinlai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Setidaknya, sudah empat kali MK menerbitkan putusan judicial review UU Migas. (Baca Juga: Ini Tujuh Poin Penting Revisi UU Minyak dan Gas Bumi).

Putusan MK No. 002/PPU-I/2003

Permohonan uji materi UU Migas pertama kali diajukan pada 2003, yakni dua tahun setelah UU itu diundangkan. Perkara uji materi ini berproses cukup panjang dalam persidangan. Para pemohon perkara berasal dari organisasi masyarakat, yaitu APHI (Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia), PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia), Yayasan 324, SNB (Solidaritas Nusa Bangsa), SP KEP – FSPSI Pertamina, dan Dr. Ir. Pandji R. Hadinoto, PE, M.H.

Dalam putusannya, majelis hakim konstitusi mengabulkan sebagian permohonan pemohon. Setidaknya ada tiga poin yang dikabulkan oleh MK dalam putusan ini. Pertama, MK menyatakan frasa “diberi wewenang” dalam Pasal 12 ayat (3) UU Migas tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Pasal 12 ayat (3) awalnya berbunyi, “Menteri menetapkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang diberi wewenang melakukan kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi pada Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)”. Singkatnya, MK telah menghilangkan kata “diberi wewenang” dalam pasal tersebut.

Kedua, MK juga ‘menghilangkan’ atau menyatakan tidak berkekuatan hukum tetap frasa “paling banyak” dalam Pasal 22 ayat (1) UU Migas. Sebelumnya, Pasal itu berbunyi, “Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.”

Ketiga, MK menyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat Pasal 28 ayat (2) dan (3) yang berbunyi, “(2) Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar; (3) Pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu”. Ketentuan tersebut dinilai melanggar prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.

Putusan MK No. 20/PUU.V/2007

UU Migas kembali diajukan ke MK untuk di-judicial review pada 2007. Uniknya, para pemohon judicial review ini adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mereka adalah Zainal Arifin (PDIP), Sonny Keraf (PDIP), Alvin Lie (PAN), Ismayatun (PDIP), Hendarso Hadiparmono (PDIP), Bambang Wuryanto (PDIP), Drajad Wibowo (PAN), dan Tjatur Sapto Edy (PAN).

Ketentuan yang diajukan uji materi adalah Pasal 11 ayat (2) UU Migas yang berbunyi, “Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.” Para pemohon berpendapat ketentuan itu bertentangan dengan sejumlah pasal dalam UUD 1945 karena DPR tidak dilibatkan sejak awal dalam proses Kontrak Kerja Sama.

Dalam perkara ini, MK menyatakan permohonan tidak diterima. MK menegaskan bahwa para pemohon yang merupakan anggota DPR tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan judicial review. Salah satu pertimbangannya adalah karena anggota DPR merupakan pembentuk undang-undang, sehingga tidak tepat apabila anggota DPR justru menguji undang-undang yang mereka buat sendiri.

Putusan MK No.36/PUU.X/2012

Dalam perkara uji materi yang ketiga ini, permohonan diajukan oleh 30 tokoh masyarakat dan 12 organisasi kemasyarakatan. Permohonan dipimpin oleh Pengurus Pusat Muhammadiyah sebagai bagian dari “jihad konstitusi” Muhammadiyah dalam menegakkan ciri khas ekonomi Indonesia dalam Pasal 33 UUD 1945. Mereka, di antaranya, mempersoalkan keberadaan BP Migas karena dinilai tidak memberi manfaat terhadap negara atau rakyat Indonesia, dan juga lebih banyak menguntungkan kontraktor asing.

MK mengabulkan permohonan tersebut dan menegaskan keberadaan BP Migas bertentangan dengan UUD 1945. Pasca putusan ini, pemerintah akhirnya membubarkan BP Migas dan selanjutnya fungsi serta regulasi migas diserahkan ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Setelah itu, pemerintah membentuk SKK Migas untuk menggantikan posisi BP Migas.

Putusan MK No.65/PUU.X/2012

Putusan MK ini menjadi putusan keempat atas pengujian UU Migas. Permohonan diajukan oleh Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB). Mereka meminta MK menguji ketentuan yang mengatur keberadaan Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Pasal tersebut di antaranya Pasal 1 ayat (19), ayat (23), ayat (24), Pasal 6, Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, Pasal 44, Pasal 46, Pasal 63 huruf c UU Migas.

MK memutuskan bahwa sebagian isi permohonan nebis in idem (permohonan terhadap perkara yang sudah diputus), sebagian isi permohonan tidak terdapat objeknya lagi dan sebagian yang lain tidak beralasan hukum. Oleh karena itu, sebagian isi permohonan dinyatakan tidak dapat diterima, sedangkan sebagian isi lainnya dinyatakan ditolak.

(PHB)

 

Dipromosikan