Memahami Perbedaan ‘Uang Pengganti’ dengan ‘Ganti Kerugian’ dari Kasus Korupsi Persetujuan Ekspor Minyak Goreng

Memahami Perbedaan 'Uang Pengganti' dengan 'Ganti Kerugian’ dari Kasus Korupsi Persetujuan Ekspor Minyak Goreng
Image Source by elshinta.com

Memahami Perbedaan ‘Uang Pengganti’ dengan ‘Ganti Kerugian’ dari Kasus Korupsi Persetujuan Ekspor Minyak Goreng

“Penjatuhan pidana pembayaran uang pengganti bertujuan untuk merampas harta hasil korupsi, dan bukan untuk mengganti kerugian negara.”

Baru-baru ini, persidangan terdakwa kasus dugaan korupsi persetujuan ekspor (PE) minyak goreng sudah mencapai tahapan pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Namun, terkait dengan pembacaan tuntutan ini, praktisi hukum Hotman Sitorus menilai bahwa sejatinya terdapat kesalahpahaman JPU dalam memaknai tuntutan ‘uang pengganti’ sebagaimana terdapat dalam tuntutannya.

“(Menuntut Majelis Hakim Pengadilan Tipikor) menjatuhkan Pidana tambahan kepada terdakwa Dr. Master Parulian Tumanggor untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 10.980.601.063037,” kata Jaksa membacakan amar tuntutannya dilansir Kontan, Kamis (22/12/2022). 

Hotman menjelaskan bahwa tuntutan uang pengganti sejatinya hanya bisa diterapkan bagi orang yang memperoleh pertambahan kekayaan dari tindak pidana korupsi. Sementara, menurutnya di dalam persidangan beberapa ahli bahkan JPU tidak cukup kuat dalam membuktikan adanya kerugian negara yang disebabkan oleh para terdakwa dalam kasus ini.

Sehingga, Ia menilai bahwa JPU dalam kasus ini tidak bisa menafsirkan makna uang pengganti tersebut dengan baik dimana akhirnya membuat JPU menuntut sesuatu yang sebetulnya belum jelas dan tidak bisa dihitung. “Uang pengganti hanya bisa diterapkan bagi orang yang memperoleh pertambahan kekayaan dari tindak pidana korupsi,” ujarnya dilansir Kontan, Rabu (28/12/2022).

Hal ini kemudian juga diperkuat oleh pendapat dari Akademisi Hukum dari Universitas Al Azhar Jakarta, Sadino. Menurutnya, uang pengganti harus didasarkan pada perhitungan riil dan sesuai fakta, artinya yang diterima terdakwa dan keuntungan terdakwa. Sedangkan, dalam kasus ini menurutnya uang pengganti Rp10 triliun itu tidak berdasarkan pada fakta-fakta persidangan sebab tidak ada kerugian negara atau tujuan untuk memperkaya diri atau perusahaan. 

Dalam penelitian Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) yang dipublikasikan di situsnya, jika mengacu pada regulasinya yakni pada pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31/1999, disebutkan bahwa pembayaran uang pengganti sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Demikian, hal ini berbeda dengan tuntutan ganti kerugian.

“Rumusan tersebut menyiratkan bahwa penjatuhan pidana pembayaran uang pengganti bertujuan untuk merampas harta hasil korupsi, dan bukan untuk mengganti kerugian negara,” tulis LeIP dalam situsnya, Kamis (29/12/2022).

AA

Dipromosikan