Mengenal Instrumen Perppu dalam Tatanan Hukum di Indonesia

Mengenal Instrumen Perppu dalam Tatanan Hukum di Indonesia

Mengenal Instrumen Perppu dalam Tatanan Hukum di Indonesia

“Dalam dasar konstitusi Indonesia yakni Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan bahwa dalam hal kegentingan yang memaksa, Presiden diberikan hak untuk menetapkan suatu Perppu.”

Menjelang tahun baru 2023 lalu, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Hal ini diungkap oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Jumat (30/12/2022), dalam keterangan pers bersama Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD serta Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej, di Kantor Presiden, Jakarta.

Dilansir dari situs Sekretariat Kabinet RI, Airlangga menjelaskan bahwa Perppu ini diterbitkan atas dasar kebutuhan mendesak dalam konteks antisipasi kondisi global, baik yang terkait ekonomi maupun geopolitik. “Kebutuhan mendesak untuk mengantisipasi kondisi global terkait dengan krisis ekonomi dan resesi global, serta perlunya peningkatan inflasi, dan ancaman stagflasi,” kata Menko Airlangga dilansir Tempo, Jumat (30/12/2022).

Namun, tahukah anda apa itu Perppu dan perbedaannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya?

Dalam dasar konstitusi Indonesia yakni Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan bahwa dalam hal kegentingan yang memaksa, Presiden diberikan hak untuk menetapkan suatu Perppu. Hal ini juga kemudian ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU No. 12/2011)

Guru Besar Ilmu Perundang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Maria Farida dalam bukunya “Ilmu Perundang-Undangan 1: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan” menjelaskan bahwa pada dasarnya Perppu memiliki kewenangan yang sama dengan suatu Peraturan Pemerintah (PP) dimana peraturan perundang-undangan ini dibuat untuk melaksanakan undang-undang (UU). Hanya saja, penerbitan Perppu didasari dengan adanya suatu “kegentingan yang memaksa.”

Berbicara mengenai hal tersebut, Jimly Asshiddiqie dalam bukunya “Hukum Tata Negara” menjelaskan bahwa setidaknya terdapat 3 (tiga) kriteria dari “kegentingan yang memaksa”, di antaranya:

  1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang.
  2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai. Berkaitan dengan aspek ini, Mahfud MD juga menjelaskan bahwa 
  3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Walaupun hukum memberikan kewenangan kepada Presiden untuk membentuk Perppu ini tanpa persetujuan DPR, namun berdasarkan Pasal 52 ayat (1) UU No. 12/2011, Perppu harus diajukan kepada DPR sesegera mungkin yakni pada masa sidang pertama DPR setelah Perppu ditetapkan. Hal ini dilakukan guna mendapatkan persetujuan dari DPR akan keberlakukan dari Perppu tersebut.

Dalam hal ini, suatu Perppu dapat menjadi UU apabila DPR menyetujuinya. Akan tetapi, apabila DPR diketahui justru menolak Perppu tersebut, maka konsekuensinya Perppu ini harus dicabut secara hukum.

Tuai pro kontra di masyarakat

Dilansir Kontan, berkaitan dengan aspek kegentingan yang memaksa, Mahfud MD menjelaskan bahwa saat ini memang terdapat kebutuhan mendesak terbitnya Perppu Cipta Kerja untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang. Ia menyebut bahwa alasan mendesak penerbitan Peppu Cipta Kerja itu antara lain untuk menghadapi krisis ekonomi global, ancaman inflasi, krisis multi sektor, sehingga pemerintah perlu mengambil langkah strategis secepatnya. “Kalau menunggu akan ketinggalan mengantisipasi,” kata Mahfud dilansir Kontan, Senin (02/01/2023).

Di sisi lain, banyak pihak yang diketahui menolak aksi pemerintah ini, salah satunya yakni Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI. Dilansir dari situsnya, YLBHI merasa bahwa penerbitan Perppu ini merupakan suatu pelanggaran atas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

Sebagaimana diketahui, dalam putusan tersebut dinyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dimana pemerintah harus memperbaikinya selama 2 (dua) tahun sejak putusan tersebut dibacakan. Tidak berhenti disitu, dalam putusannya, MK juga melarang pemerintah untuk membentuk peraturan-peraturan turunan pelaksana dari UU Cipta Kerja.

Sehingga, YLBHI menuntut agar pemerintah menarik kembali Perppu tersebut. “Mengecam penerbitan PERPU No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja; Menuntut Presiden melaksanakan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 dengan melakukan perbaikan UU Cipta Kerja dengan syarat-syarat yang diperintahkan MK; Menarik kembali PERPU No. 2 Tahun 2022,” tegas YLBHI dilansir situsnya, Senin (02/01/2023).

 

AA

Dipromosikan