Menilik Permasalahan dalam RUU EB-ET, Pengaturan Terkait Batubara Dinilai Masih Menjadi Isu

Menilik Permasalahan dalam RUU EB-ET, Pengaturan Terkait Batubara Dinilai Masih Menjadi Isu
Image Source idraberita.com

Menilik Permasalahan dalam RUU EB-ET, Pengaturan Terkait Batubara Dinilai Masih Menjadi Isu

“Dadan menuturkan bahwa setidaknya terdapat tiga isu besar dalam RUU EB-ET yang terus didiskusikan oleh pemerintah.”

Saat ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menggencarkan pembahasan 543 daftar inventarisasi masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EB-ET). Hal ini dikarenakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebagai pemilik inisiatif dari RUU ini, hanya memberikan waktu kepada eksekutif untuk menindaklanjuti draf tersebut hingga 27 Agustus 2022.

“Masukan yang kami terima dari stakeholder DIM-nya sudah lumayan tebal per tadi malam sudah 543 item yang nanti akan kita bahas bersama,” kata  Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, dalam FGD Kemerdekaan Energi di Tengah Krisis Global dikutip CNBC Indonesia, Kamis, (11/8/2022).

Sebagaimana diketahui, RUU EBT ini dinilai oleh pemerintah masih memiliki sejumlah poin-poin pengaturan yang memerlukan pembahasan lebih lanjut. Dadan menuturkan bahwa setidaknya terdapat tiga isu besar dalam RUU EB-ET yang terus didiskusikan oleh pemerintah.

“Beberapa yang sedang dialami adalah terkait energi nuklir, terkait power wheeling, perlu tidaknya pengaturan Domestic Market Obligation (DMO) batu bara masuk dalam RUU,” ungkap Dadan dikutip Kontan, Selasa (9/8/2022).

Berkaitan dengan energi nuklir, problematika dalam pembahasan RUU ini adalah mengenai dengan risiko dari pemanfaatan serta kesiapan Indonesia dalam menggunakan sumber energi ini. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, pada suatu kesempatan sempat menuturkan bahwa nuklir ini termasuk sebagai sumber energi dengan risiko yang tinggi serta memiliki ongkos pengoperasian yang tinggi.

“Dibandingkan dengan PLTN yang di sini masuk dalam kategori energi baru, dengan teknologi yang berisiko tinggi dan mahal. Sedangkan teknologi PLTN jenis SMR masih dikembangkan, belum mendapatkan sertifikasi & belum teruji,” ungkap Fabby dikutip CNBC Indonesia, Jumat, (12/08/2022).

Kemudian, berkaitan dengan power wheeling, pemerintah saat ini diketahui masih menggodok kebijakan mengenai bagaimana skema yang memungkinkan swasta untuk ikut memasok listrik EBT ini dapat diterapkan. Sebab, ketentuan yang saat ini berlaku mengatur terkait perusahaan industri yang memenuhi kebutuhan listriknya dari pembangkit EBT yang dimiliki dengan menggunakan transmisi PLN.

Lantas, berkaitan dengan permasalahan DMO batubara, hal ini juga diketahui masih menjadi perdebatan sendiri dari sisi regulator. DMO ini merupakan suatu kebijakan yang mengharuskan pelaku usaha batubara untuk mengutamakan dan mendahulukan terpenuhinya kebutuhan batubara dalam negeri sebelum melakukan penjualan komoditas batubara ke luar negeri, menjual komoditas minerba sesuai dengan harga acuan, menggunakan tenaga kerja setempat atau yang berasal dari dalam negeri dan mengutamakan penggunaan barang modal, peralatan, bahan baku, dan bahan pendukung lainnya yang berasal dari produk dalam negeri.

Penambahan klausa kuota DMO batubara dalam RUU EB-ET ini dinilai masyarakat merupakan suatu upaya “pelanggengan” penggunaan batubara dalam pemanfaatan energi di Indonesia. Hal inilah yang kemudian nilai akan berimbas pada semakin lambatnya transisi energi.

Kendati demikian, Dadan mengungkapkan bahwa Kementerian ESDM nantinya akan mengusulkan agar UU ini nantinya menjadi regulasi yang bersifat lex specialis. Sehingga, apabila telah disahkan UU ini nantinya akan menjadi hukum yang lebih khusus mengatur suatu keadaan atau peristiwa serta diharapkan dapat mengakselerasi upaya peningkatan bauran energi bersih di dalam negeri.

 

AA

Dipromosikan