Pengusaha Keberatan Apabila Dana CSR Dikelola Pemerintah

“Mohon maaf, kami bisa curiga.”

Pengusaha (Ilustrasi). Sumber Foto: Youtube

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Jawa Barat, Dedy Widjaja mengatakan bahwa pihaknya merasa keberatan apabila dana corporate social responsility (CSR) atau tanggung jawab social perusahaan dikelola oleh pemerintah.

“Kalau CSR ini kita serahkan ke Pemerintah, maka kami keberatan karena tidak akan mengena kepada intisari, yaitu CSR untuk membantu penduduk kepada industri untuk pabrik sekitarnya, tetapi bukan kepada kepentingan-kepentingan lain yang jauh dari industri dari pabrik,” ujarnya kepada KlikLegal melalui sambungan telepon, Selasa (1/8). (Baca Juga: Alokasi Dana CSR Diharapkan Kembali ke Daerah Dimana Perusahaan Bayar Pajak).

Dedy berpendapat bahwa CSR memang sebaiknya tidak dipaksakan dan tidak diserahkan kepada pihak pemerintah. Pasalnya, perusahaan membuat program CSR di masing-masing industri atau pabrik untuk mensejahterakan dan memperpendek kesenjangan ekonomi masyarakat sekitar dimana pabrik tersebut berlokasi. “Kami setuju kalau itu,” ujarnya.

“Tetapi apabila ada uang yang disetorkan kepada satu lembaga, maka kami tidak mau. Kita sudah bayar pajak, karena pajak kan sudah sebagai tanggung jawab kita kepada pemerintah,” tambahnya. (Baca Juga: APINDO Jabar: CSR Itu Bersifat Sukarela, Bukan Paksaan).

Lebih lanjut, Dedy khawatir apabila pembahasan RUU CSR berujung kepada penyerahan dana CSR ke pemerintah. “Sekarang ini, yang keluar duitnya itu pengusaha, yang membahasnya itu yang duduk di DPR, yang menerimanya pemerintah, dilaksanakn oleh pemerintah lagi. Saya kira kurang tepat karena mereka tidak mengerti maksud dan tujuan CSR itu apa. CSR itu bukan pajak loh!” tukasnya.

“Kalau pajak itu kan wajib. Harus. CSR ini apabila digabung dengan pajak, maka boleh, sehingga kita tidak usah dua kali kerja. Karena mengerjakan administrasinya ini capek juga kita,” tambah Dedy. (Baca Juga: Ketua APINDO Jabar Sarankan CSR Disatukan dengan Pajak).

Namun, bila memang ingin menetapkan CSR sebagaimana tujuan awalnya, maka pengelolaan dananya perlu melibatkan pengusaha. “Kalau kita tidak dilibatkan, dari para pengusaha, maka kami tidak akan percaya. Ini akan diselewengkan. Mohon maaf saja. Kami bisa curiga kan,” ujarnya.

“Kalau kita yang keluar uang. Kita yang kontrol bersama-sama, maka oke. Tetapi kalau dilepas, kita tidak mau. Itu bahaya. Sekarang saja yang dari KPK itu banyak yang korupsi, apalagi CSR ini. Itu kan bukan uang pemerintah, melainkan uang dari perusahaan,” tegas Dedy lagi.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Iskan Qolba Lubis mengutarakan bahwa salah satu konsep yang sempat digagas dalam RUU CSR adalah pembentukan semacam wali amanat bagi perusahaan-perusahaan untuk memberikan kontribusi sosial maupun lingkungan sekitar ke depannya.

“Jadi kita berharap dengan adanya undang-undang ini nantinya ada semacam model wali amanat-lah dari perusahaan-perusahaan. Itu kan mereka sendiri yang mengumpulkan, mungkin ada dari Departemen Sosial yang dari Pemda begitu. Melalui undang-undang itu silakan mereka nanti yang mengelola,” jelas Iskan. (Baca Juga: DPR Ingin Ciptakan Model Wali Amanat Bagi Perusahaan Melalui RUU CSR).

Sebagai informasi, sebelumnya, DPR telah menetapkan RUU CSR sebagai salah satu prioritas yang dibahas pada 2017 ini. Namun, Komisi VIII DPR telah sepakat untuk menunda pembahasan RUU CSR pada 2017 ini. Ada beberapa RUU yang dinilai lebih prioritas di wilayah kerja Komisi VIII, yakni RUU Pekerja Sosial, serta RUU Umrah dan Haji. (Baca Juga: DPR Menunda Pembahasan RUU CSR).

(PHB)

Dipromosikan